Mohon tunggu...
Falidan Ahmad
Falidan Ahmad Mohon Tunggu... Guru - Widyaiswara Kemdikbud

sejarah tentang kita hanya bisa terukir dari sebuah karya...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Permainan Tradisional

30 Januari 2021   20:49 Diperbarui: 30 Januari 2021   20:51 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa dipungkiri, akselerasi perkembangan teknologi dan pengaruh globalisasi semakin mengikis eksistensi permainan tradisional. Faktanya, saat ini jarang kita menyaksikan anak-anak usia Sekolah Dasar bermain dakon, engklek, lintang ngalih, bekelan, egrang, bethik, gasing, gobag sodor dan petak umpet. Mereka justru lebih familier dengan berbagai macam permainan online seperti: Clash of Clans, Mobille Legends, Garena, Vainglory, dan Pubg Mobile. Tidak hanya itu saja, mereka lebih banyak memanfaatkan waktu luang untuk berinteraksi bersama teman-teman melalui jejaring sosial seperti: facebook, twitter, instagram, dan whatsApp. Singkatnya, anak-anak Sekolah Dasar yang tergolong sebagai generasi alfa ini memang lebih tertarik dengan permainan digital dibandingkan permainan tradisional.

Sejatinya, permainan tradisional merupakan warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai karakter. Permainan tradisional sebagai bagian dari kearifan lokal sebenarnya sangat relevan apabila digunakan sebagai sarana untuk membentuk sikap, mental, dan kepribadian anak. Jika ditelaah lebih lanjut, permainan tradisional berkolerasi signifikan dengan pendidikan karakter. Permainan tradisional mengandung nilai-nilai utama dari Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yaitu: religiositas, nasionalisme, gotong-royong, integritas, dan kemandirian. Beberapa referensi dan hasil penelitian menyatakan bahwa permainan tradisional sangat mendukung bagi terbentuknya kompetensi yang dibutuhkan di abad 21 (Collaborative, Communicative, Creativity, dan Critical Thinking).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur (2013) menyimpulkan permainan tradisional ternyata mampu meningkatkan sikap kerjasama, komunikasi, dan toleransi. Ahmad (2015) juga mengungkapkan hal yang sama. Penggunaan dakon sebagai media pembelajaran ternyata dapat memupuk karakter jujur, disiplin, dan tanggung jawab. Lebih lanjut, Listiani (2018) menyimpulkan beberapa permainan tradisional seperti: petak umpet, tetemute, bentengan, congklak dan paciwit-ciwit lutung terbukti mampu meningkatkan sikap nasionalisme, integritas, gotong- royong, dan mandiri. Tentunya masih banyak sumber referensi yang menguatkan hipotesis permainan tradisional berpengaruh positif dalam upaya pembentukan karakter generasi penerus bangsa. 

Meskipun permainan tradisional begitu urgen dalam upaya pembentukan karakter, namun keberadaannya justru kian memprihatinkan. Upaya untuk 

melestarikannya cenderung berjalan lambat karena kendala yang dihadapi semakin berat. Terlebih, pergeseran nilai sosial budaya di tengah masyarakat memunculkan persepsi baru. Merekomendasikan anak untuk bermain permainan tradisional berarti menggiring mereka kembali ke masa lalu. Bahkan, saat ini muncul persepsi di kalangan generasi millenial, mengajarkan permainan tradisional di era digital sudah tidak relevan sesuai tuntutan zaman. Situasi ini semakin diperparah dengan longgarnya fungsi filtrasi dari media cetak maupun elektronik nasional. Media kurang memberi ruang proteksi bagi kelestarian budaya lokal. Praktis, permainan tradisional kini harus berjuang sendirian dan nyaris ditinggalkan generasi penerusnya, khususnya siswa Sekolah Dasar.

Sejalan dengan nasib permainan tradisional, program pendidikan karakter di Sekolah Dasar juga dihadapkan pada tantangan yang semakin komplek. Kemerosotan moral khususnya pada anak usia Sekolah Dasar sudah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Permasalahan bullying, intimidasi, narkoba, penyimpangan dan pelecehan seksual serta akses konten pornografi menjadi permasalahan yang begitu sulit diatasi. Survei yang telah dilakukan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2018 menunjukkan data yang mengejutkan. Sebanyak 97% dari 1.600 anak kelas 3-6 SD pada 8 provinsi besar di Indonesia telah terpapar konten pornografi melalui gawai/smartphone (www.kemenpppa.go.id). Bisa kita simpulkan, pengaruh negatif Teknologi Informasi dan Komunikasi selain mengikis eksistensi permainan tradisional, juga telah menggerus moral dan karakter siswa kita dari mulai level dan jenjang pendidikan paling bawah.

Ibarat dua sisi mata uang, pengaruh positif maupun negatif akselerasi teknologi tidak mungkin bisa dihindari. Namun, setidaknya kita masih bisa berupaya meminimalisasi dampak negatif agar permainan tradisional maupun Penguatan Pendidikan Karakter sama-sama terjaga dan berjalan dengan baik. Keduanya harus saling bersinergi dan terintegrasi untuk menghadapi pengaruh negatif globalisasi. Bentuk sinergi diantara keduanya bisa dilakukan dengan cara memasukkan permainan tradisional ke dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di Sekolah Dasar.

Integrasi permainan tradisional ke dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di Sekolah Dasar sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Peraturan Presiden nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menjadi kunci untuk membangun sinergitas antar lembaga/ instansi agar program pendidikan karakter tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Pasal 8 pada Perpres tersebut memberi keleluasaan bagi setiap satuan pendidikan untuk memasukkan kearifan lokal sebagai bagian dari program unggulan sekolah yang wajib diikuti semua siswa. Permendikbud nomor 20 tahun 2018 tentang penguatan pendidikan karakter pada satuan pendidikan formal juga mengakomodasi masuknya permainan tradisional dalam rangka memperkaya program pendidikan karakter yang sudah diterapkan oleh sekolah melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler maupun ekstra kurikuler.

Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional merupakan sebuah inovasi yang diharapkan memberi warna baru di tengah program pendidikan karakter yang selama ini hasilnya dirasa masih stagnan. Inovasi ini bisa menjadi solusi efektif munculnya strategi pendidikan karakter yang lebih menarik dan menyenangkan. Pembentukan karakter melalui permainan tradisional tentu sangat sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan tingkat perkembangan anak usia Sekolah Dasar yang lebih menyukai belajar dalam bentuk permainan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah implementasi Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional dapat menjadi referensi untuk mengubah paradigma usang bahwa "karakter itu harus dipaksa". Terutama bagi sekolah-sekolah yang masih menerapkan pola kekerasan dan cenderung menitikberatkan efek jera akibat hukuman.

Jika ditinjau dari sisi teori, implementasi Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional sejalan dengan prinsip pembentukan watak dan kepribadian yang telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dengan menyelaraskan 4 unsur yang ada pada setiap individu, yaitu: olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga (Kemdikbud:2016). Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional sejatinya merepresentasikan apa yang dikenal dengan pola pembentukan karakter melalui proses belajar bermakna. Saat aktif bermain, tanpa disadari sebenarnya mereka tengah membangung karakternya sendiri. Lickona (2012) menjelaskan bahwa karakter yang ditemukan sendiri oleh siswa, hasilnya akan terpatri sepanjang hayat karena telah menjadi bagian dari karakter mulia (good character).

Implementasi Program

Lalu, bagaimana implementasi Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional di Sekolah Dasar? Langkah pertama, sekolah membuat regulasi program "sari saper". Sari saper adalah akronim dari satu hari satu permainan tradisional. Siswa wajib bermain satu permainan tradisional pada jam istirahat. Program sari saper diharapkan berimplikasi pada pembentukan sikap jujur, toleransi, kerjasama, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air. Apabila program sari saper ini dilakukan secara berkesinambungan, harapannya bisa diadopsi menjadi program konservasi skala nasional karena saat ini anak-anak usia Sekolah Dasar sudah banyak yang tidak mengenal berbagai macam bentuk permainan tradisional.

Program sari saper sebaiknya dilakukan bervariasi untuk mengantisipasi kebosanan. Misalnya hari Senin bermain merdeka karet, Selasa bermain Bekelan, Rabu untuk Dham-dhaman, Kamis untuk Gobag Sodor, Jumat Egrang dan Sabtu bermain Bethik. Agar hasilnya maksimal, sekolah perlu mendesain halaman menjadi sebuah ruang konservasi terpadu (tempat bermain sekaligus memupuk karakter). Paving halaman sekolah digambari papan Dakon, Gobag Sodor, Bethik, dan Engklek sebagai arena permainan massal. Modifikasi halaman sekolah menjadi ruang konservasi terpadu ini tentunya bisa terealisasi dengan mudah karena biayanya cukup murah.

Kedua, sekolah mengadakan pemilihan "duta konservasi" sebulan sekali. Teknis pemilihannya berdasarkan keaktifan semua siswa selama mengikuti program sari saper. Indikator untuk menentukan siapa yang menjadi duta konservasi diperoleh berdasarkan hasil evaluasi diri yang dikonfirmasi dengan penilaian antar teman. Duta konservasi dilantik saat upacara bendera setiap hari Senin awal bulan disematkan tanda penghargaan (pin, selendang, atau atribut lain). Bentuk apresiasi ini memang sederhana, tetapi dampaknya luar biasa karena dapat memicu dan memacu mereka untuk menjadi duta konservasi budaya yang sebenarnya. Nilai- nilai karakter yang diharapkan dari pemilihan duta konservasi ini antara lain: rajin, disiplin kerja keras, demokratis, dan saling menghargai prestasi.

Ketiga, sekolah mencanangkan gerakan "Grebeg Dolanan". Grebeg dolanan adalah bentuk kolaborasi antara guru dan siswa, bertanding berbagai macam permainan tradisional di ruang konservasi terpadu. Grebeg dolanan bisa dijadwalkan sebulan sekali dilaksanakan pada hari Jumat minggu terakhir. Permainan tradisional yang dipertandingkan misalnya: balap karung, balap bakiak, engklek, dan egrang. Nilai-nilai karakter yang dibangun setelah mengikuti kegiatan ini antara lain: kerjasama, pantang menyerah, berani, percaya diri, dan kekeluargaan. Gerakan ini akan sangat menginspirasi karena sebagai bentuk "keteladanan kontekstual" dibandingkan hanya menyampaikan muatan nilai-nilai karakter secara tektual.

Langkah terakhir dari Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional adalah membuat "museum konservasi" untuk menyimpan alat, dokumentasi hasil karya siswa, ensiklopedia, dan portofolio yang terkait produk kebudayaan nasional. Museum konservasi akan lebih representatif apabila dibuat pada ruangan tersendiri. Namun jika kondisi sekolah tidak memungkinkan, keberadaannya dapat digabung dengan perpustakaan. Pembuatan museum konservasi ini dapat memupuk karakter integritas, nasionalisme, dan cinta tanah air. Manfaat jangka panjangnya, museum konservasi memberikan nilai tambah saat akreditasi sekolah sekaligus mewujudkan visi dan misi sebagai sekolah unggulan berbasis konservasi budaya.

Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional tentu membutuhkan komitmen dan dukungan dari semua stakeholders. Lazimnya sebuah inovasi, pasti memiliki tantangan dari sisi anggaran, sumber daya, dan rekomendasi. Manakala program ini berhasil diterapkan, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat edukasi, tetapi juga alat proteksi karakter dari pengaruh negatif globalisasi. Bahkan, sekolah yang mampu menerapkan program Penguatan Pendidikan Karakter berbasis permainan tradisional berpeluang sebagai pioner sekolah rujukan nasional. Sudah waktunya siswa Sekolah Dasar diarahkan untuk mampu berpikir global tetapi tetap berpegang teguh pada kearifan lokal. Mari optimis, merintis sekolah sebagai rumah ilmu, proteksi karakter, dan ruang konservasi!.

Daftar Referensi

 Ahmad, Falidan. 2020. Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Permainan Tradisional, Konsep dan Implementasi di SD. Malang: Dream Litera

Ahmad, Falidan. 2014. Pengembangan Model PBL Berbasis Permainan Dakosumalintang Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Ilmiah.Tesis. Universitas Negeri Semarang

Kemdikbud.2016. Modul Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemdikbud

Listiyani, Syarifah. 2018. Nilai karakter pada Permainan Tradisional: Penelitian Etnografi pada Komunitas Hong Kota Bandung. Jurnal Pena Ilmiah. Universitas Pendidikan Indonesia. Nomor 2 Voume 2 Halaman 4-7

Nur, Haerani. 2013. Membangun Karakter Melalui Permainan Anak Tradisional. Jurnal Pendidikan Karakter. Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun III Volume 1. Halaman 5-7

Lickona, Thomas. 2012. Education for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun