Berbeda dengan Indonesia, disertai berbagai anomalinya, beberapa negara justru telah melakukan penanganan dengan mengeluarkan hukum darurat (emergency decree) hingga upaya mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara (lockdown), seperti yang dilakukan di China, Italia, Arab Saudi, Filipina hingga Malaysia.
Upaya demikian bukan tampa ratio decidendie yang matang. Filipina misalnya secara terbuka mengakui bahwa tidak memiliki kesiapan infrastruktur medis yang memadai jika terjadi pelonjakan korban yang masif.
Begitu juga Malaysia yang baru-baru ini mengumumkan telah melakukan lockdown per 18 Maret 2019, dengan pertimbangan bahwa "pemerintah Malaysia melihat kondisi yang makin serius, terutama dengan perkembangan penularan di gelombang kedua, sehingga aksi drastis harus segera diambil."
Sebagai catatan bahwa saat ini Malaysia menduduki negara dengan tingkat suspect corona tertinggi di Asia Tenggara, yang mencapai 500 jiwa lebih.
Kendati telah mengumumkan status wabah virus corona sebagai bencana nasional, namun tampaknya pemerintah masih dinilai berhukum secara normal dalam menyelenggarakan keadaan sosial yang up-normal. Hal demikian di satu sisi karena terdapat konfrontasi dalam menyikapi pemberlakuan lockdown.
Bagi kalangan yang kontra dengan kebijakan lockdown, paling tidak didasari pada pertimbangan sirkulasi daya ekonomi masyarakat yang akan anjlok jika kebijakan itu diberlakukan. Mengingat, 70% pergerakan uang dalam perekonomian nasional berada di Jakarta.Â
Di samping itu, hal yang menjadi pertimbangan juga, selama ini arus barang yang masuk (Jakarta) justru akan terganggu karena Jakarta mengandalkan sebagian besar bahan pangan dari luar daerah.
Saat ini Jakarta juga menyumbang 20% angka inflasi nasional. Sehingga jika terdapat barang langka di Jakarta dan berujung pada kenaikan harga secara lokal, maka angka inflasi nasional bisa saja terkerek hingga 6%.
Sehingga gagasan yang diajukan dari kalangan ini adalah tetap mempertahankan status quo dengan mengurangi aktivitas dan kegiatan serikat sebagai upaya mereduksi potensi penularan virus.
Namun bagi kalangan yang pro dalam mendukung pemberlakuan lockdown, paling tidak didasari pada akselerasi penambahan suspect corona yang relatif mulai sporadis akibat tidak diberlakukannya pembatasan pergerakan masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat dari lonjakan korban yang semula 2 orang (per 2 Maret 2020) hingga 450 Warga negara (per 21 Maret 2020) dengan berbagai lokasi yang berbeda.