Dalam 'gelombang pertama' negara bangsa yang bernapas ekonomi (merkantinisme), hukum modern dicipta untuk memberi kepastian hukum yang berfungsi menopang ekonomi industrial. Hukum sengaja dibuat kaku dan jelas dalam ayat kontrak bisnis dan dagang untuk 'menakuti' dan sekaligus 'menundukkan' pelaku dagang dan buruh. Dengan kata lain, hukum dipandang sebagai kekuatan yang memaksa sekaligus memanipulasi relasi dan perilaku ekonomi manusia agraris menuju manusia industrialis. Semua atas nama pembangunan industrialis.
Pada 'gelombang kedua' negara bangsa masih bernapas ekonomi, namun dengan modifikasi instrumentalis yang lebih canggih, dengan menggandeng dua kekuatan: kapitalis dan oligarki negara ketiga. Pasca runtuhnya Uni Soviet, neo-liberal didaku menjadi satu-satu jalan keselamatan ekonomi negara bangsa. Reformasi hukum berorientasi pada kebijakan non-intervensi negara pada pranata ekonomi lewat kebijakan privatisasi dan deregulasi.Â
Dengan bergabungnya dua kekuatan ekonomi kapitalis dan politik oligarkis, daya rusak 'gelombang kedua' lebih sistemik sekaligus masif. Hukum dipandang hanya sebagai 'hamba' dari tuan kepentingan predatorik semata.Â
Sedang dalam 'gelombang ketiga', perspektif hukum dan ekonomi mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai etik-transendental dan kemanusiaan universal yang tidak semata berorientasi pada keuntungan materiil, namun juga immaterial.
Paradigma pembangunan ini tidak bisa di lepaskan dari peran dan intervensi minimalis negara, postulat penting yang merupakan anti-tesis dari 'netralitas penuh' negara atas ekonomi khas neo-liberal maupun negara ekonomi merkantinisme klasik yang kaku.
Dari ketiga deskripsi 'gelombang' di atas, paradigma hukum yang saling berkelindan adalah legalistik dan instrumentalis, sama-sama meletakkan negara sebagai 'alat' atau 'instrumen'. Namun legalistik abai (atau pura-pura abai) terhadap kepentingan non-yuridis, sedangkan instrumentalis sangat kaya dengan kepentingan non-yuridis yang tentu dapat berdampak baik maupun buruk. Dengan meletakkan 'gelombang hukum-ekonomi' sebagai batu uji, dapat dianalisis, dalam 'gelombang' apa Indonesia akan berselancar lewat omnibus law.
Perundangan-undangan omnibus law dapat berperan efektif membabat halangan-halangan disharmonisasi dan konflik norma dalam perundang-undangan, namun di sisi lain juga memiliki legitimasi demokratis yang akuntabel lewat mekanisme uji publik dan partisipasi publik yang luas dan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.Â
Guna menjamin prinsip kehati-hatian dalam perumusan perundangan-undangan, omnibus law harus dirumuskan dengan terlebih dulu melakukan upaya konsolidasi norma-norma, definisi-definisi konseptual, dan menetapkan subjek yang akan menjalankan undang-undang omnibus law tersebut.
Melalui transplantasi omnibus law harapannya Indonesia akan berselancar dalam 'gelombang' yang relatif aman, karena hukum masih berjangkar pada asas-asas perundang-undangan yang bersemangat rule of law, serta taat pada nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang berkelanjutan.Â
Omnibus law perlu diadvokasi oleh seluruh elemen bangsa, dengan tetap kritis dalam perumusan dan implementasi. Perspektif kritikal terhadap perundang-undangan tetap harus dipupuk dan dikembangkan, semata karena hukum dibuat demi kesejahteraan manusia, bukan agar segelintir (baca: elite) sejahtera karena merekayasa hukum.
Bogor, 6 Februari 2020