Mohon tunggu...
Falantino Eryk Latupapua
Falantino Eryk Latupapua Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

...menempuh jalan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Diingat dan Yang Tersisa: Suatu Refleksi Kecil untuk Mengenang 25 Tahun Konflik Maluku

19 Januari 2024   21:13 Diperbarui: 26 Januari 2024   16:17 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gong perdamaian sebagai pengingat sebuah deklarasi damai antar suku beragama di Ambon. Foto: KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA

Saya masih ingat persis apa yang terjadi di pagi hari itu, Selasa 19 Januari 1999, dua puluh lima tahun yang lalu. Saya masih duduk di bangku SMA kelas III. Tetangga saya tiba-tiba melintas di depan rumah dengan membawa berita bahwa telah terjadi perkelahian dan pembakaran di Batu Merah dan Mardika, dua wilayah bertetangga yang merupakan komunitas yang berbeda agama. Kedua wilayah itu menjadi satu-satunya jalur vital yang menghubungkan pusat Kota Ambon dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. 

Hari itu umat Islam merayakan Idul Fitri. Semalam sebelumnya langit kota dipenuhi dengan gema takbir. Sejak pagi, ibu saya yang berprofesi sebagai guru SD sudah mempersiapkan diri untuk mengunjungi beberapa anak didiknya untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat. 

Beliau memang cukup akrab dengan banyak orang tua murid di kawasan asrama militer yang terletak persis di sebelah gedung sekolah tempat beliau mengajar. Sebagian muridnya adalah anak tentara. Oleh  karena itu, tradisi tahunan berkunjung dan memberi selamat Idul Fitri adalah kesempatan kami untuk menikmati limpahan aneka kue dan penganan yang biasanya diberikan kepadanya untuk dibawa pulang. Pada saat kami merayakan Natal pun, beberapa dari mereka pernah berkunjung dan mengucapkan  selamat.

Para tetangga ramai bercakap tentang kejadian itu. Seseorang mengatakan bahwa itu hanya peristiwa kecil yang biasa, yang segera akan mereda. Akan tetapi, dalam sekejap, berita-berita penuh kecemasan dan kebencian berseliweran di sekeliling kami. Kerusuhan semakin menyebar. Dari tempat tinggal kami yang berada di wilayah perbukitan, terlihat asap hitam membumbung ke udara. 

Suara tembakan mulai sering terdengar. Keesokan harinya, saya menjadi saksi pembakaran dan pengusiran yang dilakukan terhadap orang-orang dari etnis tertentu yang sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan tempat kami berdiam. Selanjutnya, hal yang sama terjadi di hampir semua bagian kota, hingga menjalar ke wilayah lain, bahkan ke pulau-pulau lain.

Hari itu, ibu saya membatalkan rencananya untuk bersilaturahmi. Sejak hari itu pula, hari-hari kami dipenuhi dengan cerita-cerita tentang kematian, pembakaran, eksodus, isolasi, dan serangkaian diksi lain yang tidak mengenakkan untuk didengar dan diucapkan. Sejak hari itu, dimulailah hari-hari penuh kecemasan, teror, dan ketakutan. Situasi sekolah kami tidak lagi sama. 

Semua teman-teman yang berasal dari etnis pendatang, terutama yang beragama Islam tidak lagi terlihat. Ketika beberapa bulan kemudian saya menjadi mahasiswa pada universitas negeri di kota itu, situasi semakin tidak menentu.  Terkadang kami harus melewati wilayah rawan konflik dengan kawalan aparat keamanan. Terkadang pula kami harus melewati jalur laut untuk bisa mengikuti perkuliahan. Tak jarang, Teluk Ambon yang permai justru menjadi ruang penuh teror karena adanya peristiwa penembakan yang mengakibatkan kematian. 

Setahun kemudian, menjelang akhir semester II, kampus tempat saya menuntut ilmu terbakar dan hancur. Aktivitas perkuliahan menjadi kocar-kacir. Kekerasan makin menjadi-jadi. Setiap hari, surat kabar lokal dipenuhi dengan berita-berita memilukan tentang penembakan dan pengeboman, penyerangan, kematian, keterlibatan aparat keamanan, dan sebagainya. Saya yang sangat suka membaca menjadi pengamat dalam diam akan semua mahabencana kemanusiaan yang terjadi di depan mata. Semua itu terjadi hanya untuk satu alasan: perbedaan. Alasan inilah yang selama beberapa tahun ditolak oleh banyak tokoh penting dengan satu kalimat klise bernada pengingkaran: "Kerusuhan ini bukan kerusuhan antaragama..."

***

Menjadi bagian dari generasi yang menjadi saksi hidup konflik sekaligus mengalami hidup sesudah konflik mengajarkan banyak sekali nilai penting bagi diri saya. Menyaksikan sendiri peristiwa kekerasan secara masif serta mengalami kesedihan karena kematian kerabat atau orang yang dikenal sebagai korban kerusuhan membuat saya menyadari tentang betapa pentingnya menjadi "manusia" yang selalu harus berupaya menemukan cara untuk mencintai dan mengagungkan kehidupan.

Pada sisi lain, peristiwa kerusuhan yang tragis tersebut, bagi saya, adalah puncak dari "gunung es" hipokrisi masif yang disuntikkan bagi kami dari berbagai arah dalam bentuk prasangka dan stereotyping serta pengkotak-kotakan atas nama perbedaan identitas. 

Pajanan narasi dualistik Salam-Sarani untuk menghormati dan menghayati perbedaan, serta segenap narasi mengenai kebanggaan dan keagungan budaya orang basudara, pela gandong yang dibalut dengan jargon ale rasa beta rasa dan sagu salempeng dipatah dua menguap begitu saja oleh kebencian dan kekerasan yang terjadi selama bertahun-tahun. Ironisnya, sebagian besar destruksi nilai tersebut justru digerakkan atau dilakukan oleh alat-alat negara, meskipun tentu tidak pernah diakui secara terus-terang.

Dalam perkembangan selanjutnya, narasi-narasi inilah yang kemudian direkonstruksi dan diamplifikasi ketika ekskalasi konflik perlahan-lahan  mereda, beberapa tahun kemudian. Tampaknya memang jalan budaya masih menjadi pilihan penting untuk membangun rekonsiliasi sosial di saat politik dan kekuasaannya telah kehilangan daya untuk mengenali dan menggunakan kewibawaannya untuk memperbaiki kekacauan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. 

Pada akhirnya memang kerusuhan mereda dan para "pelaku" ditangkap dan dipenjarakan. Lalu masyarakat, seperti biasa, menerima peristiwa itu sebagai semacam kekhilafan komunal, larut dalam amplifikasi narasi-narasi budaya damai lalu perlahan-lahan belajar melupakan dan melanjutkan kehidupan. Bagaimana dengan suara-suara para korban atau mereka yang dipaksa menanggung konsekuensi langsung dan tidak langsung atas sesuatu yang tidak mereka mulai? Seperti biasa, suara-suara korban perlahan-lahan akan menjadi sunyi, dilupakan, tenggelam oleh narasi "memaafkan" atas nama kepentingan yang lebih besar: "kepentingan bangsa dan negara".

***

Dalam suatu diskusi informal, seseorang pernah mengatakan bahwa hal tersulit dari para penyintas tragedi kemanusiaan adalah bagaimana melanjutkan hidup setelahnya. Nah, jika Anda berkunjung ke Ambon hari-hari ini, Anda akan disuguhi pemandangan teluk nan elok, dihiasi bentangan raksasa Jembatan Merah Putih serta melewati monumen Gong Perdamaian sebagai simbol rekonsiliasi. 

Anda akan melonjak kegirangan karena makan ikan yang "hanya sekali mati" di pantai-pantai berpasir putih yang indah bukan kepalang. Selain itu, beberapa penyanyi dengan kemampuan di atas rata-rata akan memanjakan telinga Anda dengan lagu-lagu romantis dan melankolis. Ambon, Maluku, sudah aman dan damai. Semuanya sudah kembali seperti sedia kala, begitu kira-kira kesan yang akan Anda cerap pada awalnya.

Masa-masa sesudah konflik hingga hari ini dipenuhi dengan riuhnya ledakan teknologi dan penetrasi informasi yang begitu cepat dan nirbatas. Konflik dan perdamaian bukan satu-satunya wacana yang relevan dengan semangat zaman gen-X dan generasi alpha yang tidak hidup pada zaman itu dan, dengan demikian, memiliki ingatan berdasarkan cerita yang terfragmentasi dari orang tua dan generasi sebelum mereka. 

Sementara itu, segregasi atau keterpisahan pemukiman berdasarkan agama yang dianut adalah residu paling nyata dari konflik kemanusiaan tersebut, terutama ketika tinggalan-tinggalan reruntuhan bangunan telah direkonstruksi dengan cepat. Persentuhan-persentuhan intens antarmanusia yang berbeda lebih banyak terjadi di ruang-ruang formal yang, tentu saja, tidak pernah lagi bisa terbebas sepenuhnya dari intrik atas nama perbedaan. 

Segregasi, dengan demikian, mungkin akan semakin dinormalisasi sebagai kewajaran. Bagi saya, itu bukanlah hal baru, hanya sekadar inkarnasi dari segregasi mental, yakni di dalam pikiran, menjadi segerasi material, yakni yang terjadi pada ruang-ruang realitas. Meskipun demikian, pada lapisan-lapisan tertentu di dalam masyarakat, saya masih bisa berjumpa dengan sentuhan dan perhatian yang tulus dari seorang pemuda dari Negeri Sepa yang rela menghabiskan waktunya menemani mencari bantuan pada saat mobil saya mengalami masalah dalam perjalanan dari Tehoru ke Masohi, setahun lalu. 

Dalam bentuk yang lain, saya masih bisa menggunakan sembari menghayati perbedaan modulasi panggilan Abang dan Caca dengan Bu dan Usi tanpa merasa terintimidasi oleh perasaan dan ingatan tentang jarak maya yang membentang di antara sarana-sarana kebahasaan tersebut. Sekali lagi, harapan itu masih menyala. Semua itu, mungkin sekali, akan sangat bergantung pada apa yang kita ajarkan dan bagaimana cara kita mengajarkannya, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. 

Pada akhirnya, konflik kemanusiaan adalah sebuah fakta yang tidak dapat dihapuskan dari sejarah bersama. Segregasi adalah apa yang tersisa dari konflik tersebut, yang berada di luar kendali kita. Barangkali kita semua bisa mengingatnya sebagai konsekuensi dari "keterperosokan" kita, atau sebagai cara kita belajar untuk hidup bersama di dalam keberagaman. Untuk tujuan yang lebih mulia, konflik kemanusiaan yang terpampang dalam sejarah kita adalah sarana untuk belajar membayangkan diri sebagai bagian dari suatu bangsa yang besar dan majemuk lalu menjadi terbiasa dengannya.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun