Data Kekerasan di Sekolah Tahun 2024, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang tahun 2024 tercatat ada 293 kasus kekerasan di sekolah. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual (42%), perundungan (31%), kekerasan fisik (10%), kekerasan psikis (11%), dan kebijakan yang mengandung kekerasan (6%). Â Kekerasan di sekolah adalah masalah serius yang sering terjadi di berbagai tempat, termasuk di Indonesia.Â
Contoh, kasus Kekerasan di BSS pada tahun 2024, terjadi kasus perundungan ekstrem di BSS. Polisi menetapkan empat tersangka dan delapan anak berkonflik dengan hukum dalam kasus ini. Kekerasan dilakukan dengan dalih "tradisi" tak tertulis untuk bergabung dalam kelompok atau geng.
Contoh, kasus Kekerasan di Plbg pada tahun 2024, terjadi kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang siswi SMP di Plbg. Empat anak divonis bersalah dalam kasus ini, dengan motif pelaku yang terpapar konten pornografi.Â
Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Pendidikan nilai, pelatihan guru, dan peningkatan jumlah guru bimbingan konseling adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi masalah ini.
Pengertian dan Jenis Kekerasan SiswaÂ
Menurut Permendikbudristek 46 Tahun 2023, kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.
Ada enam jenis kekerasan yang diakui di sekolah sebagai berikut :
1. Kekerasan Fisik. Kekerasan yang melibatkan kontak fisik, baik menggunakan alat bantu maupun tidak. Contohnya adalah tawuran, perkelahian, penganiayaan, dan lain sebagainya.
2. Kekerasan Psikis. Kekerasan yang dilakukan tanpa kontak fisik, bertujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Contohnya adalah pengucilan, penolakan, penghinaan, dan penyebaran rumor.
3. Perundungan. Kekerasan fisik atau psikis yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa. Perundungan sering disebut dengan istilah "bullying".
4. Kekerasan Seksual. Kekerasan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang objek seperti tubuh dan fungsi reproduksi seseorang.
5. Diskriminasi dan Intoleransi. Kekerasan berupa tindakan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku, agama, kepercayaan, warna kulit, usia, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, kemampuan intelektual, mental, sensorik, dan fisik.
6. Kebijakan yang Mengandung Kekerasan. Kebijakan yang berpotensi atau menimbulkan kekerasan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain.
Jenis-jenis kekerasan ini diakui untuk memastikan bahwa setiap bentuk kekerasan di sekolah dapat diidentifikasi dan ditangani dengan tepat.
Dampak Kekerasan SiswaÂ
Dampak kekerasan pada siswa yang diatur dalam peraturan ini mencakup berbagai aspek, seperti:
1. Kekerasan Fisik. Luka atau cedera fisik yang dialami siswa.
2. Kekerasan Psikis. Dampak negatif pada kesehatan mental siswa, seperti kecemasan, depresi, atau trauma.
3. Perundungan. Bentuk kekerasan yang melibatkan sering-sering terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh satu atau lebih individu terhadap siswa lain.
4. Kekerasan Seksual. Tindakan yang merugikan siswa secara seksual.
5. Diskriminasi dan Intoleransi. Kekerasan berdasarkan perbedaan ras, agama, atau latar belakang lainnya.
6. Kebijakan yang mengandung kekerasan.Kebijakan atau tindakan yang secara tidak langsung menyebabkan kekerasan terhadap siswa.
Dampak-dampak ini dapat menghambat perkembangan siswa secara keseluruhan dan mengurangi kualitas pendidikan yang mereka dapatkan.Pencegahan dan penanganan yang efektif sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi siswa.
Menangani Kekerasan Siswa
Menurut Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, ada beberapa langkah yang harus diambil untuk menangani kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, beberapa poin penting dari peraturan tersebut :
1. Pencegahan Kekerasan. Satuan pendidikan harus melakukan upaya pencegahan kekerasan dengan menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Ini termasuk memberikan pendidikan nilai dan etika kepada siswa serta melibatkan orang tua dan masyarakat dalam upaya pencegahan.
2. Penanganan Kekerasan. Jika terjadi kekerasan, satuan pendidikan harus segera menangani dengan tahapan yang terstruktur. Tahapan ini meliputi penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan, dan pemulihan.
3. Pembentukan Tim Penanganan Kekerasan. Setiap satuan pendidikan harus memiliki tim penanganan kekerasan yang terdiri dari berbagai pihak seperti pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Tim ini bertanggung jawab untuk menangani kasus kekerasan dengan cepat dan tepat.
4. Pengenaan Sanksi Administratif. Untuk mencegah kekerasan di masa depan, satuan pendidikan juga dapat memberikan sanksi administratif kepada pelaku kekerasan. Sanksi ini bisa berupa penegakan disiplin atau tindakan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan.
5. Pemantauan dan Evaluasi. Satuan pendidikan harus secara berkala memantau dan mengevaluasi efektivitas upaya pencegahan dan penanganan kekerasan. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil benar-benar efektif dalam mengurangi kekerasan di lingkungan sekolah.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kekerasan di sekolah dapat diminimalkan dan lingkungan pendidikan menjadi lebih aman dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat.
Guru Takut Menegur SiswaÂ
Sayangnya sekarang ada ketakutan pada guru kepada siswa. Kasus guru Supriyani di Konawe Selatan adalah contoh yang mencerminkan ketakutan guru terhadap siswa saat ini. Supriyani, seorang guru honorer, dituduh melakukan kekerasan kepada seorang siswa yang merupakan anak polisi. Tuduhan ini berawal dari laporan orang tua siswa setelah menemukan memar pada tubuh anaknya. Kasus ini menarik perhatian publik dan menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, terutama rekan-rekan guru yang merasa bahwa kasus ini perlu mendapatkan perhatian serius.
Kasus ini membuat banyak guru merasa takut untuk menegur siswa karena khawatir akan dikriminalisasi. Contohnya, seorang guru di Lamongan mengaku tidak berani menegur siswa yang tidur di kelas karena takut dipolisikan, seperti yang terjadi pada Supriyani. Ketakutan ini menciptakan situasi di mana guru merasa terancam dan tidak berdaya dalam menjalankan tugas mereka.
Para guru di berbagai daerah menyuarakan protes atas laporan orang tua ke kepolisian atas dugaan tindak kekerasan pada siswa. Mereka menilai langkah ini sebagai kriminalisasi guru dan menyatakan keengganan mereka untuk menegur dan mendisiplinkan siswa karena takut dipenjara,
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya perlindungan hukum bagi guru agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan efektif
Ada beberapa peraturan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak guru agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan efektif. Berikut adalah beberapa peraturan utama :
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU ini menegaskan hak-hak guru, termasuk hak atas perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, hak atas kekayaan intelektual, dan hak atas rasa aman dan keselamatan dalam melaksanakan tugas
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017. Permendikbud ini memberikan perlindungan hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil.
3. Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Peraturan ini mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, dengan tujuan menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
4. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Peraturan ini mengatur tentang komite sekolah yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Komite Sekolah berperan dalam mendukung mediasi antara sekolah dan orang tua jika ada masalah di lingkungan sekolah.
Dengan adanya peraturan-peraturan ini, diharapkan guru dapat menjalankan tugasnya dengan lebih aman dan efektif, serta mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan.
Sikap Guru Menghndari Kekerasan
Guru memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Berikut beberapa sikap yang dapat diambil oleh guru untuk menghindari terjerumus dalam kekerasan di sekolah:
1. Menciptakan Lingkungan Positif. Guru harus menciptakan suasana kelas yang positif dan inklusif. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pujian, dukungan, dan dorongan kepada semua siswa, serta memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atau pengucilan.
2. Komunikasi Terbuka. Guru harus mendorong komunikasi terbuka dengan siswa. Jika ada masalah atau kekhawatiran, siswa harus merasa nyaman untuk berbicara dengan guru tanpa rasa takut atau malu.
3. Menjadi Teladan. Guru harus menjadi teladan dalam hal perilaku dan sikap. Siswa cenderung meniru perilaku guru, jadi penting bagi guru untuk menunjukkan sikap yang sopan, adil, dan penuh empati.
4. Mengelola Emosi. Guru harus mampu mengelola emosi mereka sendiri, terutama dalam situasi yang menegangkan. Ketika menghadapi konflik, penting untuk tetap tenang dan mencari solusi yang konstruktif.
5. Pelatihan dan Pendidikan. Guru harus terus mengikuti pelatihan dan pendidikan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan ini dapat membantu mereka menghadapi situasi yang sulit dengan cara yang lebih baik.
6. Membangun Hubungan Baik. Guru harus berusaha membangun hubungan yang baik dengan siswa, orang tua, dan rekan sejawat. Hubungan yang baik dapat membantu mencegah konflik dan menciptakan dukungan yang lebih besar di dalam komunitas sekolah.
7. Penerapan Aturan yang Konsisten. Guru harus menerapkan aturan dan kebijakan sekolah secara konsisten dan adil. Semua siswa harus diperlakukan sama tanpa pengecualian.
8. Empati dan Pengertian. Guru harus menunjukkan empati dan pengertian terhadap perasaan dan pengalaman siswa. Ini dapat membantu mencegah konflik dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih harmonis.
Dengan sikap-sikap ini, guru dapat membantu menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan nyaman bagi semua siswa, serta menghindari terjerumus dalam kekerasan di sekolah.
Untuk Ibu Supriyani dan semua guru di Indonesia
Semoga setiap langkah yang diambil selalu diberkahi. Semoga setiap lelah dalam mendidik berubah menjadi pahala yang tak terhingga. Semoga setiap tetes keringat menjadi saksi perjuangan yang abadi.
Di saat pagi menyapa, semoga semangatmu menyala seperti mentari. Di saat senja tiba, semoga hatimu tenang seperti langit yang biru. Di tengah tantangan dan cobaan, semoga kau selalu diberi ketabahan dan kekuatan.
Doa kami menyertaimu, ibu dan bapak guru. Untuk setiap malam yang kau habiskan demi persiapan. Untuk setiap senyum yang kau berikan kepada anak-anak bangsa. Untuk setiap doa yang kau lantunkan demi masa depan mereka.
Terima kasih, Ibu Supriyani dan semua guru. Atas segala ilmu dan kasih sayang yang kau curahkan. Kami takkan pernah bisa membalasnya. Hanya doa dan harapan yang bisa kami panjatkan. Semoga Allah membalas segala kebaikanmu dengan surga-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H