Saya disini menganalisis bagaimana banyaknya Carut Marut pemberitaan di Jalur Gaza, Yerusalem. Hal ini dapat dibuktikan karena banyaknya pemberitaan hoax dari pihak barat yang pro-Israel yang selalu melebih-lebihkan framming media dan memutarbalikan fakta. Hal itu jelas kembali terbukti ketika baru-baru ini Seorang reporter CNN dikecam setelah tertangkap kamera berpura-pura berada di bawah tembakan Hamas. Nic Robertson, Editor Diplomatik Internasional CNN, mengenakan Rompi Pers dan helm saat tampil dalam video sambil berlutut dalam laporan berita dari salah satu pemukiman di Israel yang dekat dengan perbatasan Gaza.
Dia mengatakan dalam video: "Mereka menghitung jumlah jenazah. Ini adalah bagian paling menyedihkan dari pembebasan dan pengambilan kembali kendali kibbutz."
Menurut reporter CNN, video tersebut diambil hampir satu kilometer dari perbatasan Gaza dan terjadi setelah dua hari pertempuran yang dimulai pada 7 Oktober. Robertson menyatakan: "Ada banyak mayat di mana-mana. Ada begitu banyak yang dibunuh; pria, wanita, anak-anak."
Jurnalis CNN terlihat dalam video itu berlutut "palsu" menjadi sasaran tembakan Hamas, sementara pasukan Israel di latar belakang berjalan normal.
Peristiwa hoax diatas menjadi sedikit peristiwa dari banyaknya pemberitaan hoax yang dilakukan media barat Pro-Israel terhadap Palestina demi mendapatkan simpati dari kalangan seluruh penjuru dunia yang memberikan kesan bahwa selama ini Israel yang menjadi korban dari konflik berkepanjangan ini, bukan Palestina. Mereka Agen-agen resmi Israel terus melancarkan propaganda komputasional dengan
mengecap Kaum Muslim Palestina sebagai teroris radikal, padahal fakta lapangannya jauh berbanding terbalik Karena Israel sadar benar akan kekuatan pengaruh media sosial. Ketika pers Barat cenderung bungkam dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Gaz. Media sosial tetap efektif mengabarkan kepada dunia tentang kehancuran dan kengerian yang terus terjadi di sana. Ketika media konvensional Barat acuh tak acuh terhadap "genosida" yang sedang melanda Gaza, medsos tetap mengungkapkan detail fakta-fakta yang terus mengusik rasa kemanusiaan warga dunia.
Ketika semua orang berteriak layaknya seorang pakar dan mendapatkan tepuk tangan, yang mengemuka kemudian bisa jadi adalah anarki ruang publik. Namun, dalam konteks Gaza, ketika media-media Barat tak bisa banyak diharapkan kejernihan dan obyektivitasnya, mode komunikasi tanpa hierarki di medsos itu justru menghindarkan dunia dari pembutaan atas realitas.
Hingga saat ini ketika saya menulis, Konflik masih berlanjut dengan kembali lagi banyaknya framming media barat pro-Israel yang selalu melebih-lebihkan dan menutupi banyaknya korbam berjatuhan dari Palestina akibat biadabnya tentara zionis Israel. Negara zionis ini disokong oleh kemampuan barat terutama Amerika dalam logistik peperangan selama ini.
Banyak Faktor serta alasan mengapa media barat melindungi kebiadaban zionis Israel.
Misalnya, proses perdamaian berarti usulan perdamaian yang menyelamatkan Amerika Serikat. Usulan negara-negara Arab kerap disebut penolakan.
Makna kata penolakan dan usulan dipermainkan dan didefinisikan menurut kepentingannya, padahal keduanya sama. Dengan pengendalian makna kata tersebut, akan lahir rasa simpatik pada Amerika Serikat karena bersusah payah menciptakan perdamaian sekaligus membenci masyarakat Arab yang menolak perdamaian.
Jadi, bila menerima usulan Amerika Serikat maka disebut moderat, namun bila menolak disebut maka ekstrimis. Ketika kita meng-klik kata ekstrimis maka akan keluar data Hamas dan Iran, misalnya.
Kedua, eksploitasi rasa bersalah Barat terhadap pengungkapan, pengungkapan dan pembunuhan atas orang-orang Yahudi Jerman oleh Hitler menjelang Perang Dunia II. Rasa setuju tersebut, menimbulkan perasaan simpatik, bahkan dukungan terhadap zionisme yang cenderung memunculkan sikap pengabsahan terhadap segala pemberitaan dan tindakan pro-Israel.
Yang ketiga, kebencian. Media massa Amerika Serikat dan Barat cenderung mendramatisasi peristiwa-peristiwa yang dianggap merugikan dan mengancam kepentingan mereka, seperti embargo minyak bangsa Arab, serta penyanderaan warga AS di Iran pascarevolusi. Hal-hal yang langsung menyangkut kepentingan Amerika Serikat dan zionisme yang diledakkan menjadi isu sentral media massa yang bertujuan menumbuhkan ketersinggungan dan kebencian terhadap bangsa Arab atau Iran.
Pada dasarnya, media massa zionis memperaktikkan manajemen cinta-benci, yakni bila ada arus masyarakat yang bertentangan dengan mereka, maka akan dicaci maki secara membabi buta. Namun, bila mendukung dan melawan musuh mereka, maka mereka mendukung habis-habisan. Contohnya negara Adidaya, Amerika Serikat.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden secara terang-terangan pernah mengajukan permintaan sebesar US$106 miliar atau sebesar Rp 1.632,4 triliun (US$1= Rp 15.400) kepada Kongres untuk bantuan militer ke Israel dan juga Ukraina.
Amerika Serikat memiliki ikatan sejarah dan ekonomi yang kuat dengan Israel. AS, yang telah mendukung pembentukan negara Yahudi sejak Perang Dunia II, adalah salah satu mitra dagang utama Israel, dengan perdagangan bilateral tahunan barang dan jasa senilai hampir US$50 miliar (Rp 770 triliun).