Mohon tunggu...
Fakhru Amrullah
Fakhru Amrullah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Fakhru Amrullah

Selatpanjang, Kepulauan Meranti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi "Last Minute", Antara Krisis Politik dan Buruknya Sitem Demokrasi

25 Juli 2018   12:05 Diperbarui: 25 Juli 2018   14:15 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendaftaran calon Presiden Republik Indonesia menurut tahapan pemilu akan dibuka pada tanggal 4 sampai dengan 10 Agustus 2018. Menjelang masa pendaftaran tersebut, Berdasarkan kalkulasi Presidential Threshold dan peta koalisi, hampir bisa dipastikan kubu yang bertarung di pilpres mendatang adalah kubu Jokowi dan Prabowo Subianto. Lalu pertanyaanya, siapa yang mendampingi beliau berdua untuk mendaftar ke kpu sebagai kontestan di pilpres 2019 mendatang?.

Sementara itu dilapangan, dinamika politik terus bergerak dinamis. Segala bentuk lobi-lobi politik dalam rangka membangun strategi politik terus dilakukan oleh masing-masing partai politk (Parpol) agar kadernya bisa menjadi kontestan pada pilpres mendatang. Manuver-manuver politk pun juga dilakukan oleh kader-kader parpol dan individu yang memiliki “hasrat” politik di pilpres mendatang.

Didalam internal papol terdapat beberapa kader partai yang mengundurkan diri dari partai yang ia besut selama ini. Alasan pertimbangan dan keputusan pribadi dilontarkan seolah digunakan untuk menutupi hasrat politiknya. Tidak bisa dipungkiri alasan pengunduran diri tersebut berkaitan dengan pilres mendatang. Merasa hasrat dan karir politik tidak akan terakomodir alias “mangkrak” jika berada diposisi yang sama pada periode kepemimpinan lima tahun kedepan menjadi alasan yang tidak bisa terbantahkan.

Diluar partai, saling silang pendapat dalam rangka menebar isu capres dan cawapres antara Juru bicara masing-masing kubu parpol pendukung makin lazim dipertontonkan media masa. Kampanye dalam rangka penarikan simpati dan memonopoli ruang logika masayrakat terus ditebar. Mulai dari hal yang substansi tetang capres dan cawapres yang akan diusung hingga debat kusir yang saling memojokan kandidat dan strategi lawan.

Sementara itu, dalam melakukan lobi-lobi politik, rencana petemuan elit politk pun sangat intensif dilakukan. Pertemuan demi pertemuan dirancang dan dimobilisasi sedemikian rupa, sehingga menjadi topik terhangat yang akan menjadi bahan rebutan media untuk diberitakan.

Hal yang menarik adalah tidak satupun diantara mereka secara gambalang menjelasakan kepada publik maksud pertemuan tersebut. Mereka menampik akan membahas isu pilpres apatahlagi persamaan persepsi untuk koalisi. Pertemuan yang dibalut dangan maksud membahas tentang isu kesejahteraan rakyat, perekonomian negara dan isu kebangsaan lainnya yang terjadi saat ini menjadi salah satu bumbu manis yang digunakan mengelabui sorotan media dan publik.

Selanjutnya diakhir pertemuan dengan gagahnya juru bicara mereka  meberikan gambaran hasil pertemuan yang telah dilakukan. Hal tersebut dipandang perlu dalam rangka mebangkitkan optimisme kepada masyarakat. Secara berwibawa dan kesatria mereka mengatakan (parpol) koalisainya akan menghadirkan pemimpin yang peduli dan sesuai dengan harapan rakyat.

Nyatanya sampai saat ini antara Jokowi dan Prabowo belum menentukan siapa capresnya. Saling merahasiakan capres menjadi “strategi rebutan” dari dua kubu ini. Mengapa hal ini bisa terjadi, mari kita ulas dari sudut pandang berikut ini.

Realita Sistem politik yang “politis”

Pasca reformasi regenerasi kepemimpinan dalam perpolitikan Indonesia mengalami kesulitan. Salah satu aslasan terjadinya hal tersebut disebabkan  format dan struktur politik yang selama dua dasawarsa ini digunakan masih belum bisa menciptakan perimbangan kekuatan di Parlemen yang merefleksikan keberadaan sebuah single majority. Pada akhirnya keniscayakan yang tidak bisa dielakkan adalah munculnya "koalisi ad hoc" dalam mengambil keputusan-keputusan strategis setiap 5 tahun termasuk sulitnya mendapatkan cawapres yang ideal.

Sebagai dampak lanjutannya, maka tidak heran ‘‘last minute’’ menjadi semacam praktik yang ‘‘normal” pada dua dasawarsa pasca reformasi. Kita bisa lihat koalisi dalam penetuan capres dan cawapres pada pilpres 2004, 2009 dan 2014 bisa dikatakan penetuan final cawapres dilakukan pada last minute menjelang akhir pendaftaran. Hal ini bisa memperburuk kualitas demokrasi pada jangka panjang.

Kondisi diatas diperparah oleh aturan Presidential Threshold 20%. Pemaksaan anggka Presidential Threshold yang dimotori kubu incumbent tidak bisa dipungkiri. Pemaksaan tersebut semakin jelas karena dilakukan ditengah capaian partai lainnya jauh dari angka Presidential Threshold yang ditetapkan.

Kepentingan untuk mempekecil saingan politik sudah dirancang lebih awal merupakan suatu yang lumrah. Hal ini menjadikan parpol oposisi harus mampu menjalin koalisi dengan partai lainya. Penyamaan persepsi dalam menyatukan visi dan misi serta program kerja yang akan dijalankan selama 5 tahun kedepan bersama koalsi merupakan lobi dan pembahsan yang memerlukan waktu cukup lama. Pada akhirnya terjadilah semacam pengekangan politik. Partai oposi (lawan politik) tidak bisa leluasa menghadirkan capres dan cawapres.

Sistem seperti ini akan membuat calon-calon potensial otomatis tersingkir karena tidak bisa direkomendasikan dalam deal-deal lobi bersama parpol kolaisi. Sehebat apapun kualitasnya dan sebesar apapun dukungan dari luar parpol tidak akan bisa menjadikan dia seorang capres/cawapres. Pertanyaan filosofisnya, bagaimana pelaksanaan prinsip “dari oleh, dan untuk rakyat” sebagai landasan demokrasi?.

Marketing Politik dalam rangka menjaga isu

Dalam strategi marketing politik, salah satu cara untuk meningkatkan elektabilitas adalah dengan cara menjaga isu politik agar selalu terfokus pada kepentingan dan misi yang sedang dijalankan. Memenangkan perhatian masyrakat dengan cara terus memancing rasa penasaran masyarkat sembari menunggu momentum yang tepat untuk mengumumkan capres dan cawapres adalah strategi jitu untuk menjaga perhatian dan fokus publik.

Hal ini dianggap perlu untuk mendistorsi dan memojokan aktivitas lawan poilitk agar tidak menjadi fokus dan perhatian publik. Strategi saling menahan cawapres akan selalu menjadi hal yang ditunggu mesyarakat dan manjadi kabar yang diburu media untuk dijadikan berita yang “seksi” untuk diangkat.

Diakhir tulisan ini penulis ingin memberikan kesimpulan bahwa kehati-hatian Jokowi untuk tidak bicara lugas soal cawapresnya dan manuver lobi-lobi politik  yang dilakukan Prabowo kepada calon koalisinya adalah merupakan strategi last minute beliau berdua untuk mejaga dan mempertahan isu, agar fokus dan perhatian masyarakat tertuju kapada beliau. Jokowi dan Prabowo akan terus memberi clue/gambaran-gambaran tetang cawapresnya. Beliau berdua tidak akan mengumumkan cawapresnya dalam waktu dekat ini sebelum “menit terkahir” pendaftaran capres dan cawapres ditutup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun