"The abundance of information and the scarcity of attention are the two things that define our age."- Clay Shirky
Bukan tidak mungkin semua dari kita menikmati informasi dari beraneka varian gawai milik kita masing-masing. Berkembangnya teknologi secara eksponensial, menjadi salah satu faktor semakin banyaknya aplikasi seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan produksi alat elektronik---handphone, laptop, dan komputer (Shin & Kwon, 2022; h. 2). Kebiasaan membaca koran, majalah atau pamflet berevolusi menjadi membaca tulisan-tulisan Digital via e-paper atau artikel website resmi---Industri media yang sama dengan penerbit Koran dan Majalah konvensional---tanpa meninggalkan budaya terdahulu (Koran dan Buku). Hal tersebut secara inheren menunjukkan bahwa kita tidak pernah benar-benar mengalami kelangkaan informasi, bahkan mungkin kita sedang mengalami fenomena Keberlimpahan Informasi.Â
Dewasa ini kita menghadapi era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance), ditandai dengan melimpahnya informasi melalui beragam kanal komunikasi yang dimiliki warga. Tidak hanya bergantung pada media arus utama (mainstream media) seperti televisi, koran, radio melainkan juga media sosial. Media sosial penetratif ke ruang-ruang personal nyaris tanpa batas. Kita menyadari era kemunculan komunikasi di mana media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi. Informasi era sekarang ini banyak disebarluaskan melalui media online (Fathurakhmah, 2020, h. 3).Â
Konsekuensi pragmatis dari lahirnya banyak medium beropini saat ini dibidani langsung oleh teknologi yang semakin menjamur dan Demokrasi yang asimetris menjadikan konten-konten yang terdiseminasi ke masyarakat luas jarang sekali ter-filter. Salah satu dampak dari keberlimpahan informasi adalah munculnya insekuritas dalam menjaga data pribadi. Kehidupan kita sudah beririsan langsung dengan Teknologi yang membuat kita sulit memisahkan kehidupan yang sifatnya personal dan mampu kita jaga kerahasiaannya, dengan irisan kita di dunia internet, yang mengakibatkan setiap orang mampu mengakses setiap cuitan, opini, gambar, atau rekaman yang kita unggah di Internet---meskipun via gawai kita pribadi.Â
Data pribadi kita bisa saja menjadi sasaran dari tindakan kriminal siber yang disebut dengan doxing (Doksing). Doxing adalah tindakan mengumpulkan informasi terkait data pribadi seseorang untuk kemudian diungkapkan atau diposting kepada publik secara ilegal. Doxing biasanya bertujuan untuk penghinaan, penguntitan, pencurian identitas, mempermalukan, atau tindakan pelecehan virtual, dengan target individu tertentu (Fajri, 2022). Doxing dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melakukan peretasan, rekayasa sosial, atau mencari informasi yang tersedia untuk umum di internet (Ramli, 2023). Kasus-kasus Doxing di Indonesia cukup banyak dan bervariasi, mulai dari Doxing terhadap pegawai pemerintah, aktivis, selebriti, hingga warga sipil biasa.
Data pribadi dalam konstitusi disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28G ayat (1) sebagai hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi". Klausa tersebut menjamin bahwa seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak perlindungan dan jaminan atas data atau informasi Pribadi mereka, kata 'setiap orang' di sini diterapkan secara menyeluruh---seluruh rakyat Indonesia---hanya dengan pengecualian di mata hukum (Kumalasanti, 2022). Bahkan, luasnya perlindungan terhadap hal tersebut hendaknya juga diterapkan pada siapa pun masyarakat sipil di Internet, di dunia serba keterbukaan.Â
Ironisnya, di Internet doxing sering kali terjadi antara warga sipil, viralitas dan sensasi penulis asumsikan sebagai pemicu mengapa warga sipil internet atau saat ini disebut netizen memiliki motivasi untuk mengulik data personal atau menyebarkan informasi personal individu di Internet. Tanpa membicarakan isu politis atau tanpa bermaksud menghilangkan empati dalam sebuah kasus yang bergulir, kita bisa melihat awal mula kasus Penganiayaan terhadap David Ozora oleh Mario Dandy. Pada awal kasus ini menyeruak di Internet, video yang tersebar di Twitter berfokus pada topik penganiayaan masyarakat kelas atas yang menggunakan previlese, namun dengan kecanggihan Internet, beberapa Informasi berhasil menyeruak ke permukaan, hingga domino terakhir bersandar pada kasus Penggelapan Pajak dan kasus Internal yang mengguncang Kementerian Keuangan.
Hal tersebut bisa menjadi hal positif atau negatif, namun kekuatan yang simetris di Internet menjadi suatu fenomena yang menarik untuk di kaji, mengenai Apa yang menjadi batasan seorang warga sipil, dan Pers dalam beretika di Sosial media dalam mengungkap profil suatu Individu yang sedang tersorot dalam sebuah kasus atau berita yang sedang di sorot di Internet?Â
Keberlimpahan dan Keterbukaan Akses meniscayakan Doxing
Kejahatan yang diniscayakan oleh kemudahan seseorang dalam menjelajah Internet dikenal sebagai Kejahatan Siber (Cybercrime). Istilah ini merujuk pada tindakan kejahatan yang mengandalkan komputer atau jaringan internet sebagai sarana untuk melaksanakan aksi kejahatan. Contoh-contoh kejahatan yang tercakup dalam ranah Kejahatan Siber antara lain adalah penindasan maya (Cyberbullying), Pengintaian maya (Cyberstalking), dan juga doxing. Doxing merupakan bentuk paling ekstrim dari penindasan maya (Cyberbullying), di mana informasi pribadi tentang seseorang ditelusuri dan disebarluaskan, sehingga melampaui batas privasi mereka dan berdampak pada penindasan yang lebih lanjut (Bei Li, 2018, h. 2).Â