Mohon tunggu...
Fakhrisya Zalili
Fakhrisya Zalili Mohon Tunggu... Notaris - Hukum-Puisi-Dan Non fiksi

PPAT

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Penulis, YouTuber, dan Algoritma Daring

4 Agustus 2020   20:05 Diperbarui: 4 Agustus 2020   20:05 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

You Tuber sekarang sampah! Saya sedang membungkus buku karya sendiri yang terpaksa dibagikan secara gratis, karena gagal menembus “algoritma pasar”, saat Reza Arap mengatakan itu pada Deddy Corbuzier, di channel Youtube-nya. 

Video lama memang, tapi baru sempat kunonton hari ini (17 Juni 2020). Sementara di pojok kamar, istriku manyun sambil men-scroll #น้องวินอยู่ไหนสโนบอลอยู่นี่ yang lagi trending di twitter pagi ini, sebab biaya pengiriman buku terpaksa memakai uangnya. 

Padahal jemarinya sampai kapalan karena menggerayangi smartphone-nya tanpa ampun, untuk berburu barang-barang yang sedang flash sale dengan uang itu. “You Tuber lama berusaha menyajikan alternatif tontonan..... tapi akhirnya tertutupi oleh channel yang sedang trending, yang kurang bermanfaat.” Kurang lebih seperti itu kata SKINNYNDONESIAN24 saat dikonfrontasi oleh Trio Semprul di channel KUY Entertaiment mereka. Jenuh dan jijik dengan keadaan, You Tuber zaman old ramai-ramai menyatakan pensiun dini.

Idealisme versus pasar kini sedang berlangsung di dunia per-youtube-an Indonesia. Memang menyesakkan bagi You Tuber perintis. Saat sebagian besar orang sedang sibuk bertaruh di meja kasinonya Zynga Poker satu dekade silam, You Tuber old dengan modal, pikiran, dan tenaga sendiri mencoba membuat video berkualitas tinggi, untuk menyajikan alternatif tontonan bagi masyarakat. Langsung menantang tayangan naga-naga hilir mudik di angkasa dan mayat-mayat yang lagi ramai-ramai di azab, ditayangkan TV mainstream saat itu. 

Perlu kesabaran ekstra, hingga mereka mencapai kesuksesan. Setalah Justin Bieber juga mendapatkan ketenarannya di youtube, segera You Tuber dalam negeri menghasilkan pundi-pundi dollar

Buah dari proses itu adalah idealisme karya, untuk menjadi alternatif tayangan TV yang membodohi. Namun kini eksistensi menjadi terancam, oleh artis-artis yang sekonyong-konyong masuk ke youtube, dengan nama besar di TV menjadi perisainya. Konsep acara TV yang “membodohi” dibawa bersamanya.

Jujur saja, You Tuber lama tidak berdaya menghadapi gempuran itu. Di era industri yang serba putus asa saat ini, dimana mayoritas masyarakat kita menjadi budak korporat, karyawan, sudah cukup lelah harus kerja siang dan malam. 

Dilema antara uang dan waktu untuk keluarga, menemani renungannya. Uang banyak,  tapi hampir tidak ada waktu untuk keluarga, atau menyisihkan waktu, namun kekurangan uang. Keduanya tidak ada yang mengenakkan dan menenangkan. Maka mengkhayal adalah pilihan mayoritas orang, agar tidak gila. 

Konten “sultan-sultan”, crazy rich, atau “pemersatu bangsa” di youtube adalah jawabannya. Tidak heran, konten lama tentang fenomena sosial tidak lagi menarik, toh mereka juga bagian dari fenomena sosial yang “lucu” itu. You Tuber lama sebenarnya mengerti yang sedang terjadi, tapi alih-alih melawan, malah mundur perlahan.

Sebagai penikmat Youtube, tentu saja saya kecewa. Untung saja kuota paket dataku masih cukup ini meng-install ulang youtube, yang sontak kuhapus karena emosi jiwa. Sebab kenyataannya, youtube adalah perusahaan skala internasional, bukan Koperasi Simpan Pinjam, yang mengharuskan taat terhadap ideologi Pancasila.  Tujuannya adalah keuntungan yang sebesar-besarnya, bukan keadilan sosial. Eksistensi ditentukan oleh seberapa besar konten dilirik oleh konsumen.

Jika You Tuber marah-marah, penulis tetap saja keras kepala. Padahal mekanisme pasar telah lama menghantam mereka. Semakin berkembang teknologi, semakin ketar-ketir penulis.

Sebuah naskah yang disusun dengan penelitian mendalam, dengan mudah tersingkir oleh algoritma daring, yang lebih menyukai gosip dan buzzer politik. Belum lagi pertandingan “derby” antara sesama penulis. Bikin karya non-fiksi terempas tulisan dosen-dosen yang menjadikan karyanya sebagai buku wajib mahasiswa.

 Jika menulis fiksi, tapi bukan tentang cinta, hijrah, atau kuntilanak, ya tenggelam. Promo berbusa-busa, paling banter buku dibeli teman dekat untuk profil picture saja. Padahal pembaca bagi penulis, sama berharganya dengan subscribber bagi You Tuber.

Nyatanya hampir seluruh penulis masih bertahan dan terus berkarya, alih-alih menyaingi Tere Liye yang punya jutaan pembaca, utuk menyamai jumlah pembaca Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dari kepolisian saja belum bisa. 

Tanyakan saja pada redaktur mojok, seberapa banyak artikel dan tulisan yang masuk, namun tidak dapat diterbitkan, tapi si penulis tetap kukuh mengirimkan kembali artikel. Jika menyatakan diri berhenti-pun, tidak ada yang peduli.

Memang sifat keras kepala penulis, bukanlah seperti “harapan bualan” yang baru disadari selang waktu “Sewindu” oleh “Tulus”, tapi melalui periode yang sangat panjang. 

Adalah gen yang diturunkan oleh leluhur ideologis penulis yang membuatnya memiliki “mental baja”. Pramodedya Ananta Toer, bukan saja dikhianati pasar, tapi karyanya diberangus, tubuhnya di penjara. Tanpa di BAP pula. Namun karyanya abadi sepanjang masa. 

Seberapa tabahnya Habiburrahman El Shirazy atau Andrea Hirata, menunggu periode kelam penulis tahun 2000-an, dimana majalah Misteri, Lampu Merah, dan Ranjang mendominasi. Toh pada akhirnya pecah juga, tanpa menyalahkan algoritma, juga tidak lantas lari dari medan tempur yang mereka pilih sendiri.

Idealisme adalah koentji. Sebuah karya, entah penulisan atau youtube, yang mendasarkan diri pada tren dan selera pasar akan berumur pendek. Namun sebuah karya yang lahir dari idealisme, akan berumur panjang. 

Lihat saja Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yang awet sejak sebelum Si Manis nongkorong di jembatan Ancol, hingga Miyabi diculik. Memang zaman telah berubah, dulu Gordon membutuhkan tabung besar untuk video call, sekarang cukup dengan kuota paket data dan smartphone. 

Maka, yang dibutuhkan adalah kompromi. Bukan berarti mengkompromikan idealisme, namun cara melaksanakan idealisme itu sendirilah yang fleksibel. Seperti air yang mampu menyesuaikan bentuk sesuai wadahnya, tanpa memengaruhi sifat aslinya yang cair. Sensei Oda lewat One Piece telah membuktikan ini. 

Idealismenya tentang pemertahanan kebudayaan, khususnya Jepang, disesuaikan dengan tren perkembangan zaman digital. Gambar dan animasi apik dipilihnya untuk bersaing di pasar internasional. Sementara Cerita Rakyat Jepang dan Legenda disamarkan dalam plot ceritanya. Hasilnya, kita tahu bagaimana “perkembangan Nami” sejak tahun 1997 sampai sekarang.

Pasar selalu membuka diri untuk berkompromi, toh tutorial masak air yang bukan dibawakan oleh Nia Ramadhani saja masih punya peminat di Youtube. Namun terkadang si  Bang Jago yang idealis-lah yang selalu menolak kompromi. Padahal harus disadari bahwa, pasar adalah naga, konsumen adalah putri, namun kita bukanlah Mario Bross. 

Memang pada akhirnya sebuah karya dengan idealisme tidak selalu menjadi trending topik.  Namun percayalah bahwa, tren akan hilang terbawa angin, tapi idealisme akan kakal abadi, selama kita fokus pada manfaat dari karya, bukan Lamborghini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun