Mohon tunggu...
Fakhrisya Zalili
Fakhrisya Zalili Mohon Tunggu... Notaris - Hukum-Puisi-Dan Non fiksi

PPAT

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Penulis, YouTuber, dan Algoritma Daring

4 Agustus 2020   20:05 Diperbarui: 4 Agustus 2020   20:05 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah naskah yang disusun dengan penelitian mendalam, dengan mudah tersingkir oleh algoritma daring, yang lebih menyukai gosip dan buzzer politik. Belum lagi pertandingan “derby” antara sesama penulis. Bikin karya non-fiksi terempas tulisan dosen-dosen yang menjadikan karyanya sebagai buku wajib mahasiswa.

 Jika menulis fiksi, tapi bukan tentang cinta, hijrah, atau kuntilanak, ya tenggelam. Promo berbusa-busa, paling banter buku dibeli teman dekat untuk profil picture saja. Padahal pembaca bagi penulis, sama berharganya dengan subscribber bagi You Tuber.

Nyatanya hampir seluruh penulis masih bertahan dan terus berkarya, alih-alih menyaingi Tere Liye yang punya jutaan pembaca, utuk menyamai jumlah pembaca Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dari kepolisian saja belum bisa. 

Tanyakan saja pada redaktur mojok, seberapa banyak artikel dan tulisan yang masuk, namun tidak dapat diterbitkan, tapi si penulis tetap kukuh mengirimkan kembali artikel. Jika menyatakan diri berhenti-pun, tidak ada yang peduli.

Memang sifat keras kepala penulis, bukanlah seperti “harapan bualan” yang baru disadari selang waktu “Sewindu” oleh “Tulus”, tapi melalui periode yang sangat panjang. 

Adalah gen yang diturunkan oleh leluhur ideologis penulis yang membuatnya memiliki “mental baja”. Pramodedya Ananta Toer, bukan saja dikhianati pasar, tapi karyanya diberangus, tubuhnya di penjara. Tanpa di BAP pula. Namun karyanya abadi sepanjang masa. 

Seberapa tabahnya Habiburrahman El Shirazy atau Andrea Hirata, menunggu periode kelam penulis tahun 2000-an, dimana majalah Misteri, Lampu Merah, dan Ranjang mendominasi. Toh pada akhirnya pecah juga, tanpa menyalahkan algoritma, juga tidak lantas lari dari medan tempur yang mereka pilih sendiri.

Idealisme adalah koentji. Sebuah karya, entah penulisan atau youtube, yang mendasarkan diri pada tren dan selera pasar akan berumur pendek. Namun sebuah karya yang lahir dari idealisme, akan berumur panjang. 

Lihat saja Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yang awet sejak sebelum Si Manis nongkorong di jembatan Ancol, hingga Miyabi diculik. Memang zaman telah berubah, dulu Gordon membutuhkan tabung besar untuk video call, sekarang cukup dengan kuota paket data dan smartphone. 

Maka, yang dibutuhkan adalah kompromi. Bukan berarti mengkompromikan idealisme, namun cara melaksanakan idealisme itu sendirilah yang fleksibel. Seperti air yang mampu menyesuaikan bentuk sesuai wadahnya, tanpa memengaruhi sifat aslinya yang cair. Sensei Oda lewat One Piece telah membuktikan ini. 

Idealismenya tentang pemertahanan kebudayaan, khususnya Jepang, disesuaikan dengan tren perkembangan zaman digital. Gambar dan animasi apik dipilihnya untuk bersaing di pasar internasional. Sementara Cerita Rakyat Jepang dan Legenda disamarkan dalam plot ceritanya. Hasilnya, kita tahu bagaimana “perkembangan Nami” sejak tahun 1997 sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun