Alasan menyudahi perdebatan ini, sebenarnya mirip yang dilakukan oleh pemerintahan otoriter Soeharto, meskipun terlalu cepat untuk berkesimpulan bahwa juga memiliki agenda yang sama, legitimasi politik jangka pendek untuk golongan tertentu.
Sebenarnya cara "kacamata kuda" yang dimanifestasikan dalam RUU ini, telah dibangun sejak Naskah Akademiknya yang hanya berpusat pada Soekarno, sumbangan pemikiran tokoh lain diabaikan. Pancasila versi RUU-HIP menjadi gersang.Â
Sebut saja mislanya Notonegoro, Dekan Pertama Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang menyumbang nilai-nilai falsafah Pancasila, sekaligus menganugrahkan gelar Doktor Honoris Causa pada Soekarno.
Filsafat Pancasila yang dibangun Notonegero justru berbeda dengan Pidato 1 Juni 1945 Soekarno yang tidak menerapkan hierarki pada butir-butirnya, Notonegoro memaknai Pancasila secara hierarkis dalam kerangka saling membentuk substansi dari tiap silanya, sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai basisnya dan "Keadilan Sosial" sebagai output-nya. Hal inipun sekaligus menyatakan bahwa, perdebatan tentang tafsir Pancasila tidak akan selesai sampai keadilan sosial tercapai.
Di sisi lain Pancasila sebagai ideologi lintas generasi, bersifat terbuka terhadap perubahan tatanan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi paradoks ketika diberikan penafsiran rigid yang lebih kental pada pandangan subyektif generasi saat ini, seperti yang dimuat dalam butir-butir RUU-HIP. Alih-alih abadi, ia akan segera musnah ketika terjadi perubahan sosial, yang prinsip jalan keluarnya tidak ditemukan dalam penjabaran sempit RUU ini.Â
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di satu sisi, krisis ekologi dan sosial di sisi lain, akan membuat perubahan tatanan lebih cepat tiga kali lipat daripada sebelumnya. Sehingga RUU ini sudah sepantasnya dihentikan, bukan ditunda, kecuali terdapat niat pembentuk untuk memproduksi undang-undang jangka pendek dan tidak berkelanjutan, jika mempercepat kematian Pancasila cukup lancang disebutkan.
Naskah Akademik yang Akrobatik
Hukum merupakan sebuah cabang ilmu sosial, sehingga pembentukan dan pemberlakuannya bergantung pada kaidah ilmiah yang disusun melalui naskah akademik, yang disusun mendahului keputusan politik. Identifikasi masalah dan metode harus berkorelasi, jika tidak, maka tidak ada kesimpulan yang bisa didapatkan.Â
Antara identifikasi masalah dan metode penelitian, terdapat diskursus ius constitutum (apa yang ada/hukum yang telah berlaku) dan ius constituendum (apa yang seharusnya/hukum yang akan diberlakukan). Jika hendak melihat efektifitas suatu undang-undang yang telah berlaku, maka peneliti sedang menilik ius constitutum. Prinsip, norma, dan aturan dijadikan sebagai sumber data utama, dan data lapangan sebagai pelengkap.Â
Sebaliknya, apabila yang hendak dilakukan adalah pembentukan undang-undang, maka peneliti berada dalam wilayah ius constituendum, sehingga terdapat 2 (dua) kemungkinan sumber data, jika yang hendak dilakukan adalah penerapan asas pada aturan, maka prinsip dan norma menjadi sumber data utama.Â
Namun hal ini menjadi rancu apabila digunakan pada naskah akademik RUU yang masuk melalui aspek kebutuhan hukum masyarakat, seperti RUU HIP ini. Sehingga yang lebih tepat digunakan adalah kemungkinan kedua, penelitian lapangan dijadikan sumber data utama.