Anak adalah untuk zaman yang akan datang, bukan untuk zaman kita. Salahlah cara mendidik orang tua yang hendak membuat anaknya seperti mereka juga (Hamka)
Ragam ekspresi wajah anak memang menjadi ciri khas pagi hari di kelasku. Mulai dari yang wajah minim ekspresi seperti menahan binar karena force awakened tadi pagi, sampai wajah dengan bibir komat-kamit tak bersuara sambil menyeret pupil mata ke samping, yang menurut teori micro expression-nya Dr Lightman dalam serial Lie to Me diterjemahkan "sedang mengingat sesuatu", mungkin sedang berusaha merangkai kalam-kalam suci untuk hafalan tahfidz di siang hari atau sedang menghitung ulang anggaran pendapatan dan jajan negara.Â
Tapi tentu saja ekspresi semangat, antusias, ekspresif, dan ceria masih dominan tampak, boleh jadi karena hasrat bertemu teman sekelas, game yang dijanjikan guru, reward yang akan diterima, tugas yang sudah diselesaikan, atau sekedar panen senyum memukau... karena senyum itu sedekah.
Allah mengkreasikan anak-anak dengan perilaku yang unik dalam usianya. Anak-anak terlahir dengan berkah kebahagiaan, satu paket dengan potensi negatif yang mungkin muncul seiring aktivitas sosialnya yang semakin beragam. Karena itu beberapa opsi pilihan hidup selalu rapi terpetakan untuk mewujudkan obsesivitas setiap orang tua yang berharap kelak anaknya menjadi bintang di masanya, dan hal tersebut harus berbanding lurus dengan pilar-pilar penunjang cita-cita luhur tersebut termasuk pendidikan. Jadi, guru adalah profesi yang never ending karena "selama seorang ibu masih diperbolehkan melahirkan anak, maka selama itu profesi guru masih dibutuhkan."
Mengemban amanah di kelas 3 memang menjadi tantangan tersendiri. Meskipun tidak lagi mendengar harmoni alam yang indah berupa teriakan atau tangisan non-tantrum anak-anak, namun kekhawatiran munculnya masalah out of law, bad habits, maladjustment, atau pause play delay tetap saja menjadi prioritas program-program kelas yang akan di hard launching-kan. Secara gitu, mengingat posisiku sebagai pengganti orangtua di sekolah memang cukup berotot mempromosikan ajaran-ajaran kebaikan dalam nuansa polos mereka.Â
Sadarku akan hebatnya anak-anak menyelesaikan tugas perkembangan mereka memang jauh mempermudah alur pembinaan akhlak dan akademik mereka, ibarat tanaman rambat yang terlihat jauh lebih indah saat ditata dan diarahkan.
Saya dan mungkin banyak teman sebaya atau lebih tua pernah merasakan nuansa pendidikan yang berbeda. Nuansa dengan older supremacy yang begitu rekat melalui hubungan vertikalnya yang bertipikal keras, emosional, represif, sporadis, tanpa kompromi, hierarkis, dan goal oriented yang membawa pandangan mengejutkan, mengingat hasil yang didapat juga sangat signifikan dirasakan. Arahan-arahan manipulatif yang menjadikan orang dewasa superordinat memang kerap kali menggiring perasaan tidak nyaman, resah, kontravensi, diskriminatif, dan bingung.
Namun, justru pengalaman itu menjadikan proses pembelajaran begitu mengena dan menjadi bahan cerita ...misalnya "cambang aku pernah ditarik lho sama bu guru itu gara-gara belum hafal comparative degree." Tapi banyak bukti bahwa kualitas output yang dihasilkan tidak mengecewakan.
Saya juga merasakan nuansa pendidikan yang horisontal, sebuah transisi dimana guru dan orangtua begitu mengayomi, membuka ruang toleransi begitu lebar, koesif, preventif, kompromistis, diplomatis, dan process oriented yang begitu rush and massive dalam dekulturisasi budaya pendidikan sebelumnya. Pengalaman belajar yang menyenangkan juga membuat proses pembelajaran menginternal dengan cukup baik karena diformulasikan dengan berbagai metode dan media pembelajaran yang teruji dan up to date sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat.
Satu hal yang sampai saat ini saya cermati adalah bobot materi pelajaran yang kian terjun bebas ke dasar. Pelajaran yang dulu baru saya terima di SMP sekarang sudah include dalam kurikulum kelas 3 SD, namun banyak orang menilai bahwa itu bukan sebagai regress, namun justru menjadi progress bagi public life demand, karena diluar dugaan, kreasi Allah yang sangat detil berupa otak yang dititipkan di setiap kepala anak-anak seolah ikut beadaptasi dengan apa yang ditangkap indra mereka. Bahkan, tidak sedikit anak yang mampu melebihi ekspektasi banyak pihak akan hasil akhir di pelajaran-pelajaran yang dianggap lebih rumit.
Terlepas dari wajah pendidikan yang out of breath akibat intensitas perubahan kurikulum yang sering, tetap saja disana ada ruang kosong dimana mereka harus terus diingatkan untuk berpikir positif, memaksimalkan potensi, mensinergikan akal dan akhlak, menjalani kehidupan sosial dengan baik, menghargai diri sendiri dan orang lain, dan tidak ragu mempunyai mimpi besar untuk menyongsong cita-cita mereka.Â
Siapapun sadar dan iri dengan dunia mereka yang belum banyak mengenal benci, belum sering tersentuh iri hati, belum tertarik dengan ketamakan, serta mampu lembut, tulus dan jujur dalam berkehidupan. Semua itu perlu berjalan hand in hand dengan peningkatan kualitas pengajaran, kualitas pengawasan, kualitas pembinaan, kualitas evaluasi, kualitas penilaian, dan kualitas penghargaan. Karena merekalah anak-anak surga, anak-anak yang kelak memberi tiket orangtua, guru dan banyak orang untuk masuk surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H