Mohon tunggu...
Politik

Menyingkap Tabir Hukum di Indonesia

22 Agustus 2017   06:26 Diperbarui: 22 Agustus 2017   13:47 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KMENYINGKAP TABIR HUKUM DI INDONESIA

Berbicara permasalahan hukum memang tidak ada habisnya, karena  hukum sangatlah erat dengan kehidupan social.  Selagi Manusia di bumi terus berkembang, meregenrasi, maka hukumpun juga begitu. JIka kita melihat pada sebuah teori maka seharunsya hukum bersanding sejajar denan perkembangan manusia etapi pada realitanya bukanlah seperti itu.  Sering kali kita acapa menemui kekosongan hukum, semisal seseorang yang melakukan tindak pelanggran hukum sering kali dibebaskan, itu karena belum ada aturan yang jelas yang menyentuh persoalan itu. Berkaca dari permasalahan itu bisa juga dikatakan bahwa perkembangan hukum lebih lambat dari perkembangan manusia.

Dari beberapa sumber referensi memang tidak banyak yang menjelaskan akan hal itu, tapi seyogyanya kita sebagai generasi muda bangsa seharusnya sadar akan hal itu. Ada banyak faktor memang yang mempengaruhi perkembangan hukum Indonesia. Sering kali kita menemui seorang anak artis terciduk Narkoba, tetapi apa yang terjadi. Mereka dibebaskan begitu saja dengan kata lain direhabilitasi selama beberapa minggu. Begitu pula sebaliknya jika anak seorang masyarakat biasa, seorang warga miskin terciduk hal seperti itu, para penegak hukum seakan tak ambil pusing dan langsung menjatuhi hukuman beberapa tahun penjara. Lantas dalam hal ini APa yang sebenarnya terjadi, ada apa dengan hukum Indonesia.???.

Menjadi sebuah tanda tanya besar memang, menurut sumber yang didapat kesalahan paradigma dalam hukum lah  yang menjadi kunci bobroknya hukum di Indonesia. Jika dilihat dari tujuan hukum bangsa indoensai menanut 3 hal yakni , kepastian Hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Tidaklah salah memang dari ketiga hal tersebut, karena dirasa santalah cocok dengan kultur masyrakat di Indonesia. Namun dikutip dati dari buku Prof. Ali, indoensia telah mengalami kecelakaan sejarah karena pernah dijajah bangsa belanda, dari belanda lah menerapkan " asas konkordansi" yang mana asas itu ialah bentuk peraturan hukum belanda yang harus dierapkan oleh bangsa jajahanya tak terkecuali Indonesia. Di dalam sistem hukum Indonesia hampir 90% menganut sistem hukum eropa continental. Namun yang dirasa paling mencolok oleh penulis adalah kberadaan patung dewi keadilan " THE BLIND FOLDED STATUE".     Tidak banyak perbedaan memang, dari segi bantuk maupun pedang terlihat sama dengan patung yang ada di jepang dan Negara lainya. Akan tetapi ada suatu hal yakni ada tutup kain yang ada di dalam mata yang menutup sang peri. Kita bisa mengambiil dua kesimpulan, jika dilihat dari perpektif barat itu menandakan " semua orang akan berarti sama di mata hukum, dan berlandsakan asa Equality before a Law", tetapi dalam perpektif hukum timur, patung yang terpampang jelas didepan lobi Mahkamah Agung  jepang tidak ada pentup mata.  Apa arti dari filosofi itu, menurut para hakim agung jepang, hukum bukanlah menyangkut tentang keadilan, kepastian, dsb. Teapi menyangkut tetang kedamaian. Karena kedamaian sudah pasti adil dan sejahtera, namun jiak keadilan belum tentu damai. Hukum d jepang memnag lebih mengguakan mata hati dalam memutuskan sebuah perkara, utuk itu mereka sangat menaruh perhatian besar ketika ada seorang koruptor dengan pencuri ayam tentu tidaklah sama dalam hal menjatuhi sanksi hukum.

Profesor Robert A .kagan,dalam tulisanya dalam pengantar buku karya Prof. Phillippe Nonet dan pof. Selnick yang berjdul Toward Responsif law: Law & society in transition,juga menjelaskan bahwa " the blinfolded statue" alias patung dewi keadilan yang tertutup matnya itu"merupakan simbol dari tipe hukum yang otonom,yang tidak dimaksdukan untuk mampu meresponi aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,melainkan hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan prosedural formal.Penegak hukum yang terwakili dengan patung dewi keadilan yang dibutukana itu adalah penegak hukum yang teramat sangat egalistik atau dalam bahas aprancis nya " bouche de la loi" ( terompet undang-undang belaka).

Tidak salahnya jika penegak hukum kita,mulai untuk (paling tidak secara   perlahan-lahan) menarik lepas kain hitam yang menutup mata dewi keadilan kita di indonesia  dan benar --benar mengacu pada pasal 28 ayat 1 uu no 4 tahu n 2004 tentang kekuasaan kehakiman.yang ssebenarnya sudah menuntun kita semua terutamapara hakim,untuk "membaca undag-undang dengan menggunakan mata hati" ayat itu terkandung dalam bunyi pasal tersebut" hakim wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakatnya: penerapan undang-undang tidak dapat dilakukan secara " paku mati"  tetapi harus dioptimalkan dengan penerapan yang hidup dan dengan mewujudakn tujuan hukum secara hakiki yaitu" keharmonisan yang melahirkan keadilan dan kedamaian" yang ujung-ujungnya scara logis akan memberi kemanfaatan.sebesar-besarnya. Di dunia timur yang kini diwakili oleh jepang,korea,cina  tujuan hukunya sam sekali  bukan " kepstian" melainkan hanya keadilan dalam bhs inggrisnya " justice". Bhs jepangnya " kosei" dan perdamaian dalam bhs inggrisnya " peace" dan dalam bhs jepangnya " heiwa"heion. Kita juga sering mendengar   komentar yang mempertanyakan apa yang dimaksud sebagai "memenuhi rasa keadilan masyarakat" "masyarakat yang mana? Keadilan yang bagaiman?. Saya kira jawabnya,sebagiman yang pernah dikemukan benjamin N. Cardozo,bahwa bagaimanapun ada standar umum dari rasa keadilan dan moral itu Yang harus direformasi dari pendidikan hukum di indonesia karena mahasiwa cenderung diarahkan pada paradigma hukum barat yang mewakili " volkgeist" (jiwa bangsa) yang berbeda dengan indonesia." Dewi keadilan jepang " yang lebih bermakna ketimuran,dimana " dewi keadilan jepang" tidak tertutup untuk menerapkan undang-undang secara sempit dan kaku tetapi juga harus disertai pertimbangan moral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun