Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Habis "Sontoloyo" Terbitlah "Genderuwo"

10 November 2018   18:57 Diperbarui: 10 November 2018   19:25 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah sontoloyo akhir-akhir ini menjadi tren, hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menggunakan istilah "politik santoloyo" saat acara pembagian 5.000 sertifikat lahan di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (23/10/18).

Presiden Joko Widodo mengaku jengkel terhadap politikus yang mengadu domba, fitnah, dan memecah belah untuk meraih kekuasaan, hal itulah maka beliau menyebutnya dengan politik santoloyo.

Dilansir dari Kompas.com, alasan itu diungkap Jokowi saat menerima pimpinan gereka dan rektor/ketua perguruan tinggi kristen  seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/10/18) "Sebetulnya ini dimulai dari urusan politik, yang sebetulnya setiap lima tahun pasti ada.

Dipakailah yang namanya cara-cara politik yang tidak beradab, yang tidak beretika, yang tidak bertatakrama Indonesia. Cara-cara politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, cara-cara politik yang memecah belah, hanya untuk merebut sebuah kursi, sebuah kekuasaan, menghalalkan segala cara" ujar Jokowi.

Kata sontoloyo pun ramai diperbincangkan publik. Hal ini mengingatkan pada tulisan Soekarno berjudul  "Islam Santoloyo"Tulisan itu lahir setelah Soekarno membaca  berita kriminal di suratkabar Pemandangan, 8 April 1940.

Berita itu tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke penjara karena memperkosa salah seorang muridnya. Melalui tulisannya Soekarno menegaskan, gurunya itu yang sontoloyo, bukan islamnya.

Namun, apakah anda tahu apa arti dari sontoloyo itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi,sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh. Menurut Ivan Lanin, konon kata ini mulai dipakai sebagai makian (kasar) pada sekitar 1935 sebagai plesetan 'konto loyo' (kontol = alat kelamin laki-laki; loyo = lemah sekali).

Namun ada rujukan lain yang mengatakan sontoloyi berarti gembala bebek dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, ada yang beranggapan bahwa arti ini sebagai kata makian saat kesal menunggu sang gembala mengangon bebeknya yang lamban.

Namun, belum lama usai kehebohan tentang pernyataan Jokowi tentang politik sontoloyo, kini sang Presiden kembali membikin pernyataan yang tak kalah seru, kali ini dengan membawa embel-embel salah satu mahkluk halus dari bangsa demit: "Politik Genderuwo". Pernyataan tentang politik genderuwo itu ia katakan saat berpidato dalam acara pembagian sertifikat tanah di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pada Jum'at, 9 November 2018 lalu.

"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, memang digiring untuk kesana. Dan yang ketiga menjadi ragu-ragu masyarakat", kata Jokowi.

"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masa masyarakat sendiri dibuat ketakutan? Nggak bener kan? Itu sering saya sampaikan itu namnya 'politik genderuwo', nakut-nakuti".

Terlepas dari pernyataan Jokowi, genderuwo adalah makhluk mitologi masyarakat lokal nusantara. Antropolog asal Amerika Serikat Clifford Geertz mengklasifikasikan mahkluk halus di Indonesia dalam 5 jenis, yakni memedi, lelembut, tuyul, demit, serta dayang.

Memedi disebut Geertz adalah sejenis makhluk yang secara harfiah tukang menakut-nakuti. Genderuwo termasuk golongan memedi atau yang tugasnya menakut-nakuti. Genderuwo adalah jenis memedi laki-laki, sedangkan untuk yang perempua disebut 'wewe'.

Dari istilah-istilah politik yang Jokowi kemukakan itu, banyak yang kemudian mempertanyakan, siapa yang dimaksud oleh Jokowi sebagai yang menggunakan cara "politik sontoloyo" dan politik genderuwo itu. Ini akan menjadi sebuah bola liar, semakin panas ketika banyak pihak mulai angkat bicara dan memberikan penafsirannya masing-masing.

Sasaran yang sangat kontras tentu adalah para politisi. Menurut Abdul Kadir Karding, saat di Jakarta, Jum'at 9 November 2018. Beliau menuturkan, "Jadi, pernyataan Pak Jokowi itu untuk semua orang, calon pemimpin maupun politisi, yang pernyataan-pernyataannya membangun narasi propaganda, tentang membangun ketakutan dan kegalauan di tengah masyarakat". Memang, masyarakat kerap kali dihantui oleh isu-isu palsu, hoaks, nyinyir, yang fitnah yang tujuannya menaku-nakuti.

Jokowi melihat, banyak politisi yang pandai memengaruhi masyarakat. Namun, yang amat disayangkan oleh beliau adalah para politisi cenderung tidak memandang etika berpolitik dan keberadaban. Tentu,harapan Presiden Jokowi agar cara berpolitik seperti itu segera ditinggalkan, sehingga rakyat jangan sampai terus diberikan isu-isu recehan yang tidak substansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun