Pada masa Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H/656 M - 40 H/661 M), umat Islam dihadapkan pada fitnah yang menimbulkan konflik internal di tubuh kaum muslimin. Hal ini mengakibatkan terjadinya peperangan antar para sahabat, yaitu Pertempuran Jamal antara Khalifah Ali dengan kelompok Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Ummul Mukminin Aisyah, dan Pertempuran Shiffin antara Khalifah Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Tidak berhenti sampai di situ, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga dihadapkan pada munculnya kelompok Khawarij yang membelot dari barisan Khalifah Ali pasca Pertempuran Shiffin dikarenakan Khalifah Ali menerima usulan untuk melakukan Tahkim.
Awal Mula Kemunculan Kelompok Khawarij
Khawarij pertama kali muncul ketika pertempuran Shiffin, di mana saat itu mereka adalah bagian dari pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Saat itu, pihak Khalifah Ali dan pihak Muawiyah sepakat untuk melakukan Tahkim dengan menunjuk dua orang penengah untuk menyelesaikan perselisihan antara mereka. Sekelompok orang dalam pasukan Khalifah Ali membelot dan menolak rencana perundingan tersebut.
Mereka menganggap Khalifah Ali telah kafir karena menunjuk dua juru runding untuk berhukum, bukan kepada Al-Qur'an. Semboyan yang selalu mereka gaungkan yaitu "Tidak ada hukum selain hukum Allah."
Selain itu, mereka juga mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka mengatakan, "Ali dan Muawiyah sama-sama berlomba menuju kekafiran; mereka seperti penunggang kuda yang sama-sama berlomba dalam pacuan kuda. Muawiyah kafir karena memerangi Ali, sedangkan Ali kafir karena menunjuk dua orang juru runding."
Dialog Abdullah bin Abbas
Pada awal kemunculannya, Khalifah Ali tetap mentolerir sikap mereka karena masih sebatas perbedaan pandangan dan tidak memicu perpecahan atau gerakan bersenjata. Ia berusaha menyadarkan kaum Khawarij dengan jalan pendekatan dan diskusi. Salah satunya adalah dengan mengutus Abdullah bin Abbas.
Abdullah bin Abbas dipilih karena ia merupakan sahabat yang paling paham dalam bidang Al-Qur'an dan Sunnah. Kaum Khawarij adalah tipe kaum yang tidak mau menerima hal apapun kalau bukan berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan menggunakan logika paling rasional sekali pun, kalau itu bukan berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah mereka akan menolaknya dan menganggapnya pemikiran kafir.
Abdullah bin Abbas pergi mengenakan pakaian terbaik buatan Yaman dan tidak lupa menyisir rambut. Ia mendatangi kaum Khawarij yang sedang berkumpul di perkampungannya. Ibnu Abbas berkata mengenai penampilan mereka, "Belum pernah sekali pun aku melihat kaum yang lebih rajin beribadah daripada mereka. Tangan dan lutut mereka kasar seperti tempat unta menderum, dan pada wajah mereka ada tanda hitam bekas sujud. Pakaian mereka usang karena hampir sering dicuci. Mereka menyingsingkan lengan baju, serta wajah mereka pucat karena sering begadang untuk beribadah."
Ketika ia datang, kaum Khawarij melihatnya dan berkata, "Selamat datang wahai Ibnu Abbas, apa maksud baju indahmu ini?"
Ibnu Abbas menjawab, "Apa yang membuat kalian heran? Aku pernah melihat Rasulullah SAW mengenakan baju paling indah yang dimilikinya."
Ibnu Abbas lalu membacakan firman Allah kepada mereka, "Katakanlah (Muhammad), 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?'" (QS. Al-A'raf: 32)
Orang-orang Khawarij berkata, "Apa maksud kedatanganmu?"
Ibnu Abbas menjawab, "Aku datang kepada kalian sebagai perwakilan dari para sahabat Rasulullah SAW, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, juga sebagai menantu Rasulullah, yang kepada merekalah wahyu diturunkan, dan mereka ini lebih tahu tafsirnya daripada kalian, pun terkait merekalah wahyu diturunkan, sementara tak seorang dari mereka berada di tengah-tengah kalian. Aku sengaja datang untuk menyampaikan kepada kalian kata-kata mereka, lantas akan kusampaikan kata-kata kalian kepada mereka."
Orang-orang yang hadir lantas pergi. Salah satu dari mereka menukas, "Jangan berdebat dengan kaum Quraisy! Ingatlah kepada firman Allah, "Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (QS. Az-Zukhruf: 58) Maka itu, janganlah kalian berbicara dengannya!"
Beberapa dari mereka condong kepada Ibnu Abbas menegaskan, "Demi Allah! Kami akan berbicara dengannya, kami akan sungguh-sungguh memperhatikan apa yang dia katakan, andai saja kamu mau berbicara dengan mereka."
Ibnu Abbas kemudian berkata, "Beritahukanlah kepadaku, apa yang kalian ingkari dari sepupu sekaligus menantu Rasulullah, orang yang pertama beriman kepada beliau padahal para Sahabat Rasulullah kini berada di pihaknya?"
Orang-orang Khawarij kemudian berkata, "Tiga hal yang kami pungkiri darinya."
Ibnu Abbas berkata, "Apa saja itu?"
Mereka memaparkan, "Pertama, Ali mengangkat sejumlah orang sebagai hakim (terkait Tahkim), padahal Allah berfirman, "Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah." (QS. Al-An'am: 57) Untuk apa adanya orang dan putusan setelah ketetapan firman Allah tersebut?"
Ibnu Abbas berkata, "Apa lagi?"
Mereka menyatakan, "Ali berperang, namun dia tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah. Jika mereka yang dia perangi kafir, berarti tawanan dan harta mereka pun halal baginya. Jika mereka mukmin, berarti darah mereka haram baginya."
Ibnu Abbas kembali berkata, "Apa lagi?"
Mereka menjawab, "Ali telah menghapus gelar Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin) dari dirinya sendiri. Jika bukan Amirul Mukminin, berarti dia Amirul Kafirin (pemimpin orang-orang kafir)."
Ibnu Abbas kemudian berkata, "Adakah alasan lain selain itu?"
Mereka menjawab, "Hanya itu."
Ibnu Abbas melanjutkan, "Katakanlah kepadaku, jika aku bacakan kepada kalian sebagian Kitab Allah yang masih berlaku hukumnya, dan sampaikan kepada kalian sebagian Sunnah Nabi-Nya yang membantah perkataan kalian ini, apakah kalian bersedia untuk kembali kepada kebenaran?"
Mereka berkata, "Tidak ada yang dapat menghalangi kami untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah."
Ibnu Abbas menjawab, "Terkait perkataan kalian bahwasanya Ali mengangkat sejumlah orang sebagai hakim dalam urusan agama Allah, maka perlu diketahui bahwasanya Allah pun telah menyerahkan hukum-Nya kepada sejumlah manusia terkait pelanggaran seharga seperempat dirham."
Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu..." (QS. Al-Ma'idah: 95)
Allah berfirman terkait seorang wanita dan suaminya, "Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal." (QS. An-Nisa: 35)
Ibnu Abbas menegaskan, "Maka putusan seseorang itu boleh hukumnya. Karena, Allah menjadikan putusan seseorang sebagai ketentuan yang berlaku dan dipercaya. Aku akan bertanya kepada kalian dengan nama Allah; mana yang lebih baik, mengangkat sejumlah orang sebagai hakim demi mencegah darah tertumpah dan nyawa melayang serta mendamaikan di antara pihak yang bertikai, ataukah terkait pembunuhan seekor kelinci yang harganya hanya seperempat dirham dan terkait kemaluan seorang wanita?
Kalian sendiri tahu bahwa seandainya Allah memang berkehendak, niscaya Dia sendiri yang akan menjatuhkan putusan. Dia tak akan menyerahkannya kepada siapa pun! Manakah di antara kedua perkara tersebut yang menurut kalian lebih baik?"
Mereka menjawab, "Justru lebih baik mencegah tertumpahnya darah dan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai."
Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kalian dapat keluar dari syubhat ini?"
Mereka menjawab, "Ya."
Ibnu Abbas melanjutkan, "Adapun perkataan bahwa Ali berperang namun tak menawan dan tidak mengambil rampasan perang maka pantaskah kalian menawan ibunda kalian, Aisyah? Atau kalian dapat menghalalkan beliau seperti kalian menghalalkan wanita yang lainnya? Jika demikian, berarti kafirlah kalian!
Jika kalian mengira Aisyah bukan Ummul Mukminin maka kafirlah kalian; kalian telah keluar dari Islam karenanya. Allah berfirman, "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. Al-Ahzab: 6)
Kini kalian ada di antara dua kesesatan, maka silakan kalian coba pilih salah satunya, pasti kalian tetap kembali kepada kesesatan. Maka carilah jalan keluar dari kesesatan tersebut. Apakah kalian sudah dapat keluar dari syubhat ini?"
Mereka saling menatap, lalu menjawab, "Ya."
Ibnu Abbas melanjutkan, "Ucapan kalian yang menyatakan bahwa Ali telah menghapus namanya dari predikat kekhalifahan, maka aku akan menceritakan kepada kalian tentang hal itu. Tentu kalian mengetahui bahwa pada saat perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW menandatangani perjanjian dengan Suhail bin Amr. Beliau berkata, 'Wahai Ali, tulislah. Ini adalah ketetapan Muhammad utusan Allah.'
Orang-orang musyrik lantas berkata, 'Jika kami tahu bahwa engkau adalah utusan Allah. maka kami tidak akan memerangimu. Oleh karena itu, tulislah namamu dan nama ayahmu.'
Nabi lalu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku adalah utusan-Mu.'
Setelah itu Rasulullah SAW mengambil lembaran dan menghapus kata 'Muhammad utusan Allah' dengan tangannya dan berkata, 'Wahai Ali tulislah, Ini adalah perjanjian yang ditetapkan atau disepakati Muhammad bin Abdullah.'
Rasulullah SAW itu lebih baik dari Ali. Tetapi saat menghapus gelar Rasulullah dari diri beliau, sungguh hal tersebut tidak serta-merta membuat beliau kehilangan kedudukan sebagai seorang Nabi."
Ibnu Abbas bertanya, "Apakah sudah dapat keluar dari syubhat ini?"
Mereka menjawab, "Ya."
Dari dialog tersebut, 2000 orang bertobat dan mau meninggalkan bid'ah mereka. Sementara itu, yang tersisa dari mereka sisanya adalah 4000 orang. Mereka yang tersisa kemudian memerangi Khalifah Ali pada tahun 38 H yang dikenal dengan Pertempuran Nahrawan.
Itulah kisah perdebatan antara Ibnu Abbas dengan kaum Khawarij yang begitu luar biasa ini terkandung sejumlah faedah. Di antaranya adalah urgensi ilmu dan keutamaan ulama. Andaikata bukan karunia ilmu syariat dan pemahaman agama yang Allah anugerahkan kepada Abdullah bin Abbas, tentunya mayoritas kelompok ini tetap berada dalam kesesatan dan tidak mau bertaubat. Dengan demikian, ilmu terbukti sebagai fondasi penting dan cahaya utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H