Bersamaan dengan menguaknya kritik, pada akhir dekade 1860, parlemen Kerajaan Belanda diisi oleh kaum liberal yang mulai menikmati kejayaan usai Revolusi Prancis.
Menurut Sejarawan Reinhart, Pertautan antara kritik humanis dan kemenangan liberal pada akhirnya membuka pintu negara kolonial untuk investasi kaum liberal atau disebut sebagai politik pintu terbuka.
Politik pintu terbuka yang disebabkan oleh hadirnya Undang-Undang Agraria 1870 menyebabkan terjadinya sewa tanah oleh pihak swasta yang lebih eksploitatif dan membuat permasalahan hidup bumiputra semakin kompleks. Hak atas tanah bumiputra tergerus; sangat tidak sesuai dari tujuan awal untuk memajukan bumiputra.Â
Alih-alih bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat bumiputra, kebijakan ini menimbulkan kesengsaraan di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda karena eksploitasi sudah mencapai pulau di luar Jawa.
Kebijakan ini tentu saja mengundang kritikan, salah satunya dari Conrad Theodor van Deventer (1857--1915) melalui tulisan yang cukup menohok, berjudul "Een Ereschuld (Sebuah Utang Kehormatan)" dalam majalah De Gids pada tahun 1899.
Tulisan tersebut berisi kritikan van Deventer terhadap pemerintah Belanda atas perlakuan dari praktik kolonialisme yang membuat masyarakat bumiputra sengsara.
Dalam tulisannya, ia berargumen bahwa pemerintah harus membalas budi atas perlakuan dari tanam paksa---oleh golongan kolonial diberi nama cultuurstelsel (1830--1870)---dan praktik ekonomi liberal yang menghasilkan keuntungan kas selama bertahun-tahun. Atas tulisan tersebut, kaum liberal dan religius di Negeri Belanda memaksa pemerintah negeri induk melaksanakan politik balas budi atau Politik Etis.
Kebijakan Politik Etis atau politik balas budi akhirnya dimulai secara resmi pada tahun 1901 dan memiliki tiga program, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Usai pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 yang menandai dimulainya rentetan kebijakan etis, praktik kewajiban moral kepada rakyat Hindia Belanda ini menjadi salah satu landasan yang mendasari lahirnya berbagai kebijakan di negeri koloni.Â
Sejak berlakunya Politik Etis sampai dekade 1930, program yang paling menonjol dan memiliki pengaruh besar terhadap rakyat bumiputra adalah program edukasi.
Meski pendidikan Politik Etis adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik dan murah untuk bekerja pada perkebunan Belanda dan pegawai kantoran serta dilaksanakan dengan setengah hati, program tersebut dipandang sukses oleh sejarawan Indonesia masa kini karena program edukasi dinilai menjadi alat untuk meruntuhkan dominasi kolonial dan menjadi senjata untuk memberantas kolonialisme di Nusantara. Untuk masalah ini bisa dilihat tulisan saya lebih lanjut dalam "Politik Balas Budi dan Praktik Pendidikan Setengah Hati"
Perlu diketahui, pada dasarnya, menurut Furnivall dalam Netherland India: A Study of Plural Economy (1989) pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah tidak pernah diniatkan untuk meningkatkan taraf hidup bumiputra. Pembangunan tersebut hanyalah cara untuk memperlancar urusan pemerintah itu sendiri.