Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhaji di Masa Pandemi

31 Juli 2020   12:44 Diperbarui: 24 April 2022   23:12 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari ini (31/7/2020) umat Islam merayakan Idul Adha yang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Musababnya, ialah adanya pandemi covid-19 yang menjangkiti hampir seluruh dunia termasuk Indonesia. 

Salah satu perbedaan tersebut terlihat pada perayaan haji yang setiap tahun biasanya diikuti oleh jutaan umat Muslim dari seluruh dunia. Akibat pandemi covid-19 yang merajalela, ibadah haji pun dibatasi oleh pemerintah Arab Saudi guna mengurangi resiko penyebaran virus tersebut. Bahkan, tidak sedikit pula negara yang membatalkan ibadah haji, termasuk Indonesia.

Ancaman Penyakit di Tanah Suci  

Dalam sejarah umat manusia, kegiatan rutin tahunan tersebut yang terhambat karena wabah bukan pertama kali terjadi dan pernah beberapa kali terjadi. 

Menurut Prof. Oman Faturrahman dalam Leiden Lecture Series (22/7/2020) yang mengangkat tema “Pilgrimage in The Time of Pandemics”, wabah penyakit (Thaun) di Timur Tengah tercatat dalam manuskrip kuno abad 14 yang ditulis Al-Manzibi. Pada manuskrip tersebut dijelaskan bahwa penyebaran wabah mencapai titik tertingginya dan mengakibatkan ribuan orang meninggal ketika masa haji dan menurun ketika memasuki tahun baru Islam.

Haji menjadi satu ritual yang berbahaya karena rutenya berpotensi turut menyebarkan wabah. Apalagi ditambah dibukanya Terusan Suez, rute haji semakin berbahaya”, sebut guru besar filologi UIN Jakarta ini.

Selain itu, wabah kolera juga sempat menjadikan Arab Saudi cukup mencekam. Wabah kolera pertama kali ditemukan di Arab Saudi pada tahun 1821, diduga kuat wabah tersebut berasal dari India melalui Semenanjung Persia. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1831, kolera ditemukan di Hijaz dan semakin mengganas karena mengakibatkan kematian pada kurang lebih 20 ribu orang. 

Setelah itu, menurut Tagliacozzo dalam Pilgrim Ships and The Frontiers of Contagion (2014), sepanjang jalur perjalanan ke Makkah identik dengan persoalan kolera yang mengakibatkan tanah suci terkena wabah kolera pada tahun 1841, 1847, 1851, 1856-57, dan 1859. 

Penyakit kolera memang bukan berasal dari Tanah Suci melainkan dari India. Namun, rute perjalanan haji dari dan menuju Mekkah menjadi saluran penyebaran kolera. 

Sejarawan sejarah kesehatan, Gani Achmad Jaelani, menegaskan dalam tulisannya Islam dan Persoalan Higiene di Hindia-Belanda (2017) yang mengutip laporan Congrès international de Médecins des Colonie (1884) bahwa wabah penyakit datang bersamaan dengan kedatangan para Jemaah haji dan kemudian menghilang setelah jamaah itu pulang.

“Pernyataan ini dengan jelas memberi penekanan terhadap tubuh para Jemaah haji yang dianggap sebagai pembawa wabah”, tulis Gani

Antisipasi Penyebaran Wabah di Tanah Suci

Arus manusia menuju Mekkah terus meningkat. Di sisi lain, ancaman wabah penyakit belum menghilang di Tanah Suci. Pada posisi inilah pemerintah memainkan peranan penting dalam penanganan penyakit.

Menurut Gani Ahmad Jaelani, perdebatan persoalan karantina untuk para Jemaah haji pernah dibahas dalam Congrès international de Médecins des Colonies (Kongres Internasional Dokter-dokter tanah jajahan) pada tahun 1883 di Amsterdam. 

Dalam kongres tersebut, Konsulat-Jenderal Belanda di Hijaz, J.A Kruijt, mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah negeri yang beradab, di bawah bimbingan ilmu pengetahuan yang berhasrat menyelamatkan dari serangan wabah penyakit menular. Pernyataan Kruijt tersebut didasari atas kota tempat tinggalnya, Hijaz, menjadi sumber penyakit karena kedatangan orang dalam jumlah besar.

Pendirian tempat karantina di beberapa lokasi sekitar Laut Merah dan Tanah Suci menjadi langkah pencegahan penyebaran penyakit. Salah satu tempat karantina para Jemaah adalah di pulau Kamaran, tidak jauh dari pantai Yaman. 

Di Kamaran para Jemaah haji tinggal sementara selama 10-15 hari untuk dilakukan isolasi terlebih dahulu sebelum menginjak Tanah Suci. Tujuannya sudah pasti untuk menahan persebaran penyakit. Meski begitu, para Jemaah harus membayar sendiri untuk biaya isolasi di Kamaran.

 Langkah antisipasi pun dilakukan pemerintah Hindia-Belanda guna mencegah para Jemaah terkena atau menjadi transmisi penyakit. Hal yang dilakukan sebelum berangkat adalah dilakukannya pemeriksaan Jamaah. 

Dalam perjalanan dari Jawa menuju Tanah Suci, geladak kapal yang digunakan harus terbuat dari kayu atau besi atau baja dan memiliki atap yang baik untuk melindungi penumpang dari sengatan sinar matahari. Tentu saja, di kapal tersebut para dokter diikut sertakan dan harus dipastikan perbekalan selama perjalanan terpenuhi. 

Antisipasi yang dilakukan pemerintah adalah hal yang cukup wajar guna mengantisipasi penyakit. Terlebih, menurut F.E Peters dalam The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and The Holy Place (1994), ketika penyakit kolera melanda Arab Saudi pada tahun 1865 mayoritas sumber penyakit berasal dari jamaah Jawa dan Singapura yang pergi ke Mekkah.

Meskipun langkah pencegahan sudah dilakukan pemerintah Hindia-Belanda, tetap saja terdapat penumpang yang terkena penyakit ketika berada di kapal. Untuk memberitahu apabila ada yang terserang penyakit, dibuat sistem pemberitahuan melalui bendera. 

Setiap kapal yang mendekati pelabuhan akan mengibarkan bendera kuning yang menjadi tanda untuk berhati-hati. Pengibaran bendera tersebut menandakan terdapat kolera atau penuakit menular lain yang mematikan dan menular menjangkiti penumpang kapal tersebut. Sehingga, diperlukan penanganan yang khusus dan ketat terhadap kapal tersebut hingga sampai di Kamaran

 Dari pemaparan di atas, dapat kita pelajari bahwa perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain dapat menyebarkan penyakit. Perjalanan dari satu ke tempat lain atau hanya singgah sekalipun seringkali berada di tempat-tempat mewabahnya suatu penyakit. 

Pernyataan tersebut dapat menjadi alasan bahwa perjalanan orang dari satu ke tempat lain pada titik dan kondisi tertentu dianggap membahayakan orang lain. Ditambah lagi ketika ribuan bahkan jutaan orang berkumpul di tempat dan waktu yang sama, misalkan dalam perayaan Ibadah Haji.

Sebetulnya, setiap ada rute dagang atau rute yang sifatnya jaringan perdagangan dan komersil disitulah berpotensi jadi jalur potensial penyebaran wabah. Langkah pemerintah Arab Saudi yang membatasi haji dan langkah pemerintah Indonesia yang membatalkan haji adalah kebijakan yang tepat. 

Sudah seharusnya memori “peradaban” terkait penyakit dan kesehatan dilihat sebagai dasar kebijakan dan sudah seharusnya juga negara-negara yang beberapa kali terkena wabah, merespon pandemi lainnya dengan baik karena memiliki memori kolektif yang kuat.

Referensi

Jaelani, Gani Achmad. (2017). “Islam dan Persoalan Higiene di Hindia-Belanda”, Jurnal Sejarah Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1: 63-81.

Tagliacozzo, Eric. (2014). “Pilgrim Ships and the Frontiers of Contagion: Quarantine Regimes from Southeast Asia to the Red Sea” Histories of health in Southeast Asia: perspectives on the long twentieth century, edited by Harper and Amrith, Bloomington: Indiana University Press,, pp. 47–60.

F.E Peters. (1994). The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and The Holy Place. United Kingdom: Princeton University Press.

Diskusi webinar Leiden Lecture Series yang diselenggarakan Universitas Leiden dan UIN Jakarta dengan topik “Pilgrimage in The Time of Pandemic” dengan pembicara Prof. Oman Faturahman (Guru besar filologi UIN Jakarta) dan Yanwar Pribadi (Dosen UIN Banten)

Penulis adalah Muhammad Fakhriansyah. Saat ini ia menjalani pendidikan di program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada kajian sejarah kesehatan di Indonesia. Selain itu,  ia menjadi pemimpin redaksi di komunitas History Agent Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun