Pandemi corona yang melanda dunia termasuk Indonesia membuat macet roda kehidupan masyarakat. Aktivitas pendidikan, pariwisata, dan yang paling fundamental yakni ekonomi terhambat karena pandemi yang mengguncang dunia. Terhentinya kegiatan tersebut mengakibatkan timbulnya permasalahan sosial di masyarakat sebagai reaksi atas merebaknya virus corona, seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Jauh sebelum corona melanda, pandemi flu spanyol yang terjadi pada tahun 1918-1921 turut menimbulkan permasalahan sosial di Hindia-Belanda. Â Wabah flu spanyol yang melanda Hindia-Belanda pada tahun 1918-1921 merupakan sebuah fenomena penting dalam sejarah kesehatan negeri ini.
Ganasnya wabah flu spanyol dapat terlihat dalam penelitian-penelitian terkait jumlah korban jiwa yang meninggal. Sejarawan Collin Brown dalam artikelnya The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia (1987) menuliskan bahwa 1,5 juta orang di Hindia-Belanda meninggal akibat flu spanyol. Namun, penelitian terbaru pada tahun 2013 yang dilakukan Sidharta Chandra dalam artikelnya Mortality From the Influenza Pandemic of 1918--19 in Indonesia mengungkapkan bahwa flu spanyol telah merenggut nyawa 4 juta jiwa hanya di Jawa dan Madura.Â
Terlepas dari berapa banyak jumlah korban jiwa. Merebaknya wabah flu spanyol yang berujung pada tingginya jumlah korban baik yang tertular maupun meninggal mengakibatkan timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi di Hindia-Belanda. Salah satu permasalahan yang muncul dan menjadi ancaman ialah bahaya kelaparan. Hal itu terjadi karena tidak adanya petani yang menanam sawah sehingga mengakibatkan kurangnya pasokan pangan di Hindia-Belanda.
"Flu spanyol telah menyebabkan mayoritas petani tidak dapat bekerja karena sakit dan akibatnya banyak sawah, ladang dan perkebunan yang terbengkalaian. Kegagalan panen pun terjadi di berbagai tempat. Harga bahan makanan melonjak dengan sangat signifikan", ujar Sejarawan Ravando Lie dalam tayangan Melawan Lupa di Metro TV.
Ibarat efek domino, timbulnya kelaparan tersebut mengakibatkan hadirnya tindakan kekerasan seperti perampokan dan pembunuhan di beberapa daerah di Hindia-Belanda. Salah satu permasalahan yang terjadi ialah konflik sosial di Kudus pada November 1918 antara etnis Tionghoa dengan penduduk lokal. Dalam kasus ini, wabah flu spanyol menjadi pemantik perselisihan diantara keduanya yang memang sudah tertanam sejak lama.
Kirsty Walker memaparkan konflik itu dalam artikel The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia (2011), kala itu terjadi bentrokan antara orang Tionghoa pemilik sebuah perusahaan rokok dengan penduduk lokal setelah perusahaan tersebut mensponsori sebuah festival yang dimaksudkan untuk mengusir pandemi. Akan tetapi, festival tersebut dianggap menghina Islam. Dampaknya lima puluh rumah dibakar, delapan orang Tionghoa terbunuh, dan dua ribu orang melarikan diri ke semarang.
Selain kerusuhan dan permasalahan sosial, akibat lain yang timbul akibat pandemi flu spanyol adalah meningkatnya pinjaman kredit ke lembaga keuangan di Hindia-Belanda oleh kalangan rumah tangga.
"Pada tingkat ekonomi rumah tangga itu jelas merupakan masa kecemasan yang mendalam bagi sebagian orang. Meningkatnya penggunaan lembaga kredit seperti layanan Pegadaian Pemerintah dan bank gandum desa di Hindia Belanda menunjukkan dampak yang lebih "halus" dari flu di tingkat rumah tangga.", tulis Kirsty Walker.
Dari pemaparan historis pagebluk 1918 di atas dapat menunjukan bahwa pandemi dapat menjadi katalisator berbagai permasalahan sosial di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Jika direfleksikan ke dalam pandemi corona saat ini, hal inilah yang harus diwaspadai pemerintah. Pemerintah sudah seharusnya mengantisipasi dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang timbul akibat macetnya roda kehidupan sebagai reaksi atas pandemi. Sehingga dampak permasalahan sosial akibat pandemi dapat diminimalisir