Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sushi yang Kini "Turun Gunung"

29 Februari 2020   13:37 Diperbarui: 1 Maret 2020   11:42 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kikugawa Restaurant, restoran sushi pertama di Indonesia

Siapa yang tidak mengenal sushi? 

Makanan dari Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama lauk berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak ini, merupakan makanan yang sudah mengglobal dan mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia karena kelezatannya.

Memang tidak dapat dipungkiri, makanan tradisional Jepang telah go-internasional, dalam kasus ini telah dikenal oleh masyarakat dunia dengan gambaran yang kuat. 

Sushi, sukiyaki, tempura, dan sebagainya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat dunia, dan mereka dapat dengan mudah menikmatinya di belahan dunia manapun. 

Makanan Jepang dapat dipandang sebagai alat diplomasi negara Jepang di kancah internasional. Kesungguhan masyarakat Jepang mempertahankan makanan tradisionalnya ternyata memberikan sumbangan besar untuk negara Jepang dalam hal menjaga identitas diri dan pelestarian budaya.

Citra elit dan ekslusif pada sushi sudah melekat dari awal pembuatan sushi yang memiliki nilai filosofis tersendiri dan dibuat oleh orang yang sangat ahli dan terlatih hingga penentuan lokasi gerai sushi. 

Jepang sendiri, sampai tahun 1970-an, sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk merayakan acara-acara khusus dan terbatas pada sushi pesan-antar. 

Dalam manga (komik Jepang), sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi. 

Walaupun rumah makan kaitenzushi yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. 

Makan sushi di restoran sebagai acara seluruh anggota keluarga (family outing) terwujud di tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya kaitenzushi. Namun, di Indonesia sushi  masih dikenal sebagai salah satu masakan khas Jepang yang disajikan terbatas di beberapa restoran atau hotel berbintang. Tidak heran bila kesan eksklusif dan mewah dengan harga yang di luar jangkauan orang kebanyakan melekat pada kuliner ini.

Kikugawa Restaurant, restoran sushi pertama di Indonesia
Kikugawa Restaurant, restoran sushi pertama di Indonesia
Adalah Kikugawa restaurant, pelopor pertama restoran Jepang di Indonesia. Tempat makan ini berdiri pada tahun 1969 oleh Kikuchi Surutake dan terletak di Jl. Cikini IV No.13, RT.15/RW.5, Cikini, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota. 

Asal usul restoran ini berawal dari sang pendiri, Kikuchi Surutake, yang sangat mencintai Indonesia. Bahkan, nama gerai makan ini diambil dari lagu Indonesia kesukaannya, Bengawan Solo, yang dalam Bahasa Jepang memiliki arti gawa dan digabungkan dengan Namanya sendiri, kikuchi. 

Jadi, jika digabungkan menjadi kikugawa. Keaslian restoran ini tetap terjaga dari awal berdiri hingga sekarang dan tetap mempertahankan menu yang tidak berubah, yaitu menu yang hanya berkisar pada sushi, sashimi, agedashi tofu, udon, soba, dan ramen.

Selanjutnya terdapat Gerai Makan Keyaki dan Ajihara yang merupakan restoran Jepang yang muncul dalam kurun waktu 1970-2000an. Citra elit dan ekslusif sushi masih tetap dipertahankan pada kurun waktu tersebut. Kemudian pada medium tahun 2000-an ke atas, citra sushi telah bergeser ke sedikit yang tidak terlalu elit dan ekslusif, hal ini ditandai dengan semakin terjangkaunya harga sushi dan semakin menjamurnya restoran Jepang di pusat perbelanjaan atau mall yang terletak di beberapa kota di Indonesia selain Jakarta. 

Sushi tei, merupakan satu dari restoran Jepang yang hadir pada kurun waktu tersebut. Tepatnya pada tahun 2003, sushi tei hadir dengan menu yang mulai terjangkau kantong masyarakat dengan kisaran harga Rp100 ribu- Rp200 ribu.

Salah satu Kedai Sushi pinggir jalan di Indonesia
Salah satu Kedai Sushi pinggir jalan di Indonesia
Satu dua  tahun belakangan ini, citra elit dan ekslusif pada sushi semakin memudar akibat munculnya gerai sushi di pinggir jalan dan berharga murah. Sushi kini kian mulai "turun ke jalan"---di jual di kedai kaki lima, pinggiran jalan---dan sudah merakyat. Akibatnya, citra sushi dari makanan khas restoran dan hotel mewah itu berubah ke citra makanan rakyat dengan citra kaki lima. Meskipun harganya murah, itu bukan berarti tidak enak, yang berubah dari citra tersebut bukanlah kualitas. 

Sushi AEON yang terletak di Mall AEON Serpong Tangerang ini menjadi bukti berubahnya citra sushi yang merakyat dari segi harga. Sushi pada gerai makan ini, dapat dijangkau masyarakat mulai dari Rp 20ribu hingga Rp 70 ribu pada menu sushi set kecil hingga besar. 

Salah satu kedai sushi jalanan ialah Tokyo Sushi yang terdapat di Tangerang. Gerai makan ini berjualan di mobil pick up dan dijual dengan harga sangat murah, mulai dari Rp 8ribu per pcs.

Transformasi itu didasari salah satunya karena faktor globalisasi. Ketika setiap khalayak melihat panganan Jepang tersebut, baik itu dalam manga ataupun film, kemudian mereka tertarik untuk menikmatinya, maka dari sini sushi dikenal orang banyak. Beranjak dari sini, sushi akhirnya "turun gunung" untuk bisa memenuhi hasrat orang untuk menikmati makanan asal Jepang yang sangat terkenal tersebut.

Sumber:

Teknokultur:  Menautkan Teknologi dan Budaya, Mengilmui Praktik Kuliner Karya Sugeng P Sjahrie, buku tidak diterbitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun