Maling itu mengendap-endap di gulita malam. Tangan kanan memegang senter, dan wajah memakai topeng.
Maling itu memanjat pagar rumah dan kedua kaki menginjak pekarangan rumah dan buru-buru menggulingkan badan ke batang pohon yang berdaun rimbun.
Maling itu menyembulkan kepala di rerimbun daun dengan mata dan telinga bergerak liar ke samping kiri, kanan dan depan. Hening.
Si maling menajamkan mata melihat seisi rumah. Lampu di teras menyala namun lampu di dalam rumah tidak ada satupun yang menyala.
Maling melangkah pelan tapi tapi pasti kemudian membuka paksa pintu depan dan berhasil. Ia memasuki rumah yang gulita namun tak menghidupkan satu pun lampu.
Senter si maling itu menyinari ruang tamu tapi tak menemukan satu pun benda berharga. Ia mendengus kesal dan membatin, "Pemilik rumah ini pasti orang miskin."
Ruang tamu itu hanya berisi buku-buku dan kertas-kertas yang bersusun rapi di rak-rak buku. Tak ada televisi, tak ada lukisan mahal bergantung di dinding dan barang antik.
Maling itu bergerak melangkah ke ruang dapur dan berharap ada benda-benda berharga yang bisa dicuri. Tapi sial, yang ditemui sama seperti di ruang tamu.
Ia melangkah gontai dari ruang dapur ke ruang tamu dan rebahan sebentar di karpet yang terbentang. 15 menit kemudian ia bangkit menuju ke dua kamar tidur. Setiap pintu kamar tidur itu tidak terkunci.
Ia membatin heran dan bertanya dalam hati, "Mengapa tak ada orang di rumah ini?' Di dua kamar itu, si maling melihat lagi buku-buku dan kertas-kertas yang bersusun rapi di rak-rak.
Penasaran. Ia melihat-lihat judul-judul buku itu. Ada yang berjudul Lelucon Para Koruptor, Orang-orang Proyek, Robohnya Surau Kami, Bumi Manusia dan lainnya.
Sinar senter itu berganti dengan nyala lampu di ruang kamar pertama. Ia penasaran dengan isi-isi buku itu. Ia ambil buku berjudul Lelucon Para Koruptor yang ditulis Agus Noor.
Sinar matahari pagi menyelusup ke celah-celah kisi-kisi di atas jendela dan menerpa buku yang dibaca si maling. Ia melihat ke dinding yang berangka 7.30. Â Â
Rasa cemas dan takut ketahuan, ia bersembunyi di bawah dipan kasur dengan menahan kantuk yang berat.
Ia terbangun di sore dan memberanikan diri berjalan ke ruang tamu, ruang dapur dan ke kamar dua namun tak ada orang.
Ia teringat bahwa buku Lelucon Para Koruptor tinggal beberapa halaman lagi belum dibaca. Angka 17.30 di dinding, buku itu selesai dibaca.
Ia tak puas dengan membaca satu buku dan melanjutkan membaca buku Orang-orang Proyek yang ditulis Ahmad Tohari. Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Seminggu di rumah buku itu, ia lebih banyak membaca buku-buku sastra: novel, cerita pendek dan puisi. Ia pernah pergi ke kamar kedua dan melihat tulisan di dinding kamar "SASTRA ITU MELEMBUTKAN HATI."
JR
Cururp
17.12.2022
#Ditulis untuk Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H