Kajian Malam Sabtu Seri ke-10
Bincang santai Kajian Malam Sabtu (Kamasa) bersama Pemuda Muhammadiyah dan IMM Rejang Lebong seri kesepuluh pada tanggal 11 Juni 2021 di Masjid Al-Jihad, Curup, dari pukul 20.00-00.00 WIB. Â
Pemateri Agus Riyan Oktori dengan judul, "K.H. M. Hasyim Asy'ari, Pesantren Tebuireng, dan Nahdlatul Ulama" dan moderator Muhammad Yusuf.
Kajian dibuka oleh Gus Rian --karena peserta yang hadir memanggil dengan panggilan itu kepada Agus Riyan Oktori--.
Panggilan itu bukan tanpa sebab, Gus Rian pernah berkecimpung di komunitas Gus Durian yang memperkenalkan pemikiran Gus Dur, S-2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan istri Gus Rian berasal dari Rembang.
K.H. Wahid Hasyim---Ayah si Gus Dur---adalah anak dari pendiri NU K.H. M. Hasyim Asy'ari, dan Gus Dur merupakan cucu dari Mbah Hasyim Asy'ari.
UIN Yogyakarta merupakaan perguruan tinggi Islam yang mahasiswanya berbeda daerah dan organisasi Islam serta bertemunya dan terjadi silang budaya organisasi Islam yang ada di Indonesia.
Kabupaten Rembang, merupakan basis NU dan beberapa pesantren NU ternama berada di Rembang, Jawa Tengah. Seperti Ponpes Raudlatul Thalibin kepunyaan Gus Mus dan Ponpes Al-Anwar, milik keluarga K.H. Maimun Zubair.Â
Ada tiga hal yang ditulis dan disampaikan Gus Rian, pertama, sejarah hidup K.H. M. Hasyim Asy'ari yang memiliki "darah" pesantren dari keturunan pihak ayah dan keturunan Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang.
Dan, K.H. M. Hasyim Asy'ari bersekolah dan dibesarkan di pesantren, belajar agama Islam dan ilmu-ilmu Islam kepada para kiai pengasuh pesantren di pulau Jawa dan belajar ke Mekkah.
Kedua, asal usul nama Tebuireng, apa yang dilakukan K.H. M. Hasyim Asy'ari untuk mengubah desa Tebuireng dan penduduknya yang jauh dari nilai-nilai keislaman sehingga kembali mengamalkan ajaran Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Ketiga, sejarah dan apa yang melatarbelakangi NU berdiri dan buku-buku yang ditulis K.H. M. Hasyim Asy'ari.
K.H. M. Hasyim Asy'ari besar dalam asuhan keluarga, lingkungan dan pendidikan pesantren. Dan, itu membentuk kepribadiannya yang religius, memahami dan melaksanakan ajaran Islam, cerdas, dan paham keilmuan Islam.
Bahkan di usia 13 tahun, K.H. M. Hasyim Asy'ari pernah menggantikan seorang guru untuk mengajar para murid yang usianya di atas K.H. M. Hasyim Asy'ari.
Pesantren Gedang di Desa Keras, Jombang, Jawa Timur, awal mula K.H. M. Hasyim Asy'ari sekolah pesantren. Di pesantren Gedang ini, K.H. M. Hasyim Asy'ari dididik langsung oleh ayah dan kakek.
Pendidikan pesantren mengisi dahaga keilmuan Islam K.H. M. Hasyim Asy'ari tentang ushul fiqih, fiqih, hadis, aqidah, nahwu, sharaf dan lainnya.
Pendidikan pesantren membentuk karakter kepribadian K.H. M. Hasyim Asy'ari untuk berakhlak baik, mandiri, berjiwa penolong dan prihatin dengan kondisi sekitar.
Intinya, pendidikan pesantren bukan sekedar mengisi diri seseorang dengan pengetahuan ilmu keislaman/agama namun membentuk karakter kepribadian yang beradab dan peduli kemanusiaan.
Tebuireng di abad ke-19 Masehi kala Belanda menjajah Indonesia merupakan kota industri penghasil gula dari tebu. Penduduk Tebuireng mengalami keterkejutan sosial, budaya dan ekonomi dengan adanya pabrik itu.
Dari desa/pedukuhan yang sederhana, Tebuireng menjadi kota industri yang ramai dengan aktivitas ekonomi dan cara kehidupan bersosial, budaya, ekonomi dan keagamaan penduduk berubah.
Ini berdampak kepada gaya hidup penduduk Tebuireng yang konsumtif-hedonis, membeli dan memakai barang untuk berfoya-foya.
Perjudian, minuman keras jadi kebiasaan dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. K.H. M. Hasyim Asy'ari prihatin dengan pola hidup penduduk desa Tebuireng itu sehingga mendirikan pesantren di desa tersebut, Pondok Pesantren Tebuireng.
K.H. M. Hasyim Asy'ari, memanusiakan penduduk desa Tebuireng dengan mengajarkan agama Islam melalui Pondok Pesantren Tebuireng. K.H. M. Hasyim Asy'ari dan Pondok Pesantren Tebuireng menjadi penerang di gelap gelita.
Pondok Pesantren Tebuireng menjadi lokomotif penggerak untuk mengubah kehidupan penduduk dari konsumtif-hedonis dan jauh dari nilai-nilai agama Islam  ke cara hidup Islam dan menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20 Masehi.
Ada dua hal penting mengapa Nahdlatul Ulama didirikan, pertama, berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran-ajaran para imam madzhab yang dianut oleh para kiai.
Kedua, membentuk organisasi ini untuk wadah persatuan para kiai dalam tugas memimpin umat menuju terciptanya cita-cita kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Gus Rian menjelaskan, "Tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan."
Lanjutnya "Karena berdirinya  NU merupakan  respon dari berbagai problem keagaamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan, sosial masyarakat dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda."
Pelestarian tradisi untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia selagi sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis menjadi kunci untuk mengetahui pembaruan dalam Islam versi Nahdlatul Ulama.
Karena, pembaruan yang dilakukan NU bercorak tradisionalis yang berbeda dengan Muhamadiyah yang bercorak pemurnian namun bertujuan sama.
Kemunculan organisasi Islam berbasis massa, apakah itu NU dan Muhammadiyah di abad ke-19 tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan pendidikan umat Islam Indonesia yang terbelakang karena dijajah Belanda dan sikap umat Islam itu sendiri.
Pun, pembaruan dalam Islam di abad ke-19 dengan melakukan hal-hal yang membuat umat Islam kembali bangkit dengan melakukan ijtihad, memodernkan umat Islam melalui pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial itu dipelopori oleh Jamalludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.
Di abad ke-19, Mekkah menjadi pusat menimba ilmu-ilmu keislaman\keagamaan seperti hadis, ushul fikih, fiqih dan ilmu-ilmu Islam lainnya dengan belajar kepada ulama di Mekkah dan beberapa orang para ulama itu berasal dari Indonesia seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Mesir abad ke-19 Masehi yang dijajah Inggris , menjadi pusat pergerakan Islam dengan adanya dua tokoh, Jamalludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang melakukan pembaruan dalam Islam.
Bentuk pembaruan dalam Islam yang dilakukan kedua tokoh itu, pertama, umat Islam harus berijtihad dan meninggalkan taqlid, pemurnian ajaran Islam, dan pembaruan pendidikan Islam.
Dua negara dan para tokoh tersebut, memiliki peran besar untuk kemunculan organisasi seperti NU, Muhammadiyah dan Persis dan pembaruan dalam Islam di Indonesia. supaya umat Islam bangkit kembali dalam bidang pendidikan, sosial dan budaya yang berpedoman kepada al-Quran, Sunnah dan pemberdayaan akal (ijtihad).
NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang muncul di abad ke-19, Muhammadiyah didirikan di tahun 1912 dan NU di tahun 1926, berbeda cara namun memiliki tujuan dan pedoman yang sama.
Berbeda cara namun memiliki tujuan dan pedoman yang sama itu seperti ungkapan, "Banyak cara dan jalan sampai ke Kota Mekkah."
Bertujuan untuk membangkitkan kembali umat Islam yang pernah maju di era Nabi Muhammad dan di abad ke-8 sampai 11 Masehi di Baghdad dan Spanyol yang berpedoman al-Qur'an, Sunnah dan pemberdayaan akal (ijtihad).
Namun, di abad ke-19 Masehi mengalami kemunduran sosial, pendidikan, politik, ekonomi, ekonomi dan kebudayaan karena sikap umat Islam sendiri (internal) dan dijajah bangsa asing (eksternal).
JR
Curup
16.6.2021
[Ditulis untuk Kompasiana.com]