"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam". Al-Qur'an surat Al-'Alaq ayat 3.
Hari Buku Sedunia, 5 Hari Berlalu
5 hari telah berlalu dari Hari Buku Sedunia yang diperingati setiap tanggal 23 April, tidak ada gebyar acara di televisi, ucapan dari pejabat publik, dan warawiri status di media sosial. Perlukah itu?
5, 50, atau 560 hari dan diperingati ataukah tidak, anggapan sebagian orang terhadap buku tetap sama dan sebagian yang lain tidak.
Kata-kata motivasi tentang betapa hebat buku dari orang-orang terkenal dan para penulis hanyalah sekedar ucapan belaka. Diingat sebentar kemudian lupa sebab urusan lain lebih penting dibanding buku.
Seperti kata-kata  motivasi dari Muhammad Hatta, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas". Atau kata-kata Joseph Brodsky, "Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya". Â
Niat baik saja tidak cukup, ia perlu tindakan nyata. Kata-kata itu menggelorakan dan menggerakkan orang-orang yang peduli buku untuk membuat gerakan literasi.
Muncul taman-taman bacaan dengan beragam variasi, ada sepeda buku, gerobak buku dan angkot buku yang menyediakan buku untuk dibaca penumpang. Tujuannya, mendekatkan buku kepada orang-orang untuk dibaca. Cerahkah masa depan literasi Indonesia?
Orang-orang ini terus bergerak di hening dan jauh sorotan kamera, optimis tak surut dan padam. Tentang hasil, tak risau dipikirkan, sebab usaha tidak mengkhianati hasil.
Sebagian para penggiat literasi ini melakukan ambil, tiru dan modifikasi (ATM) dan membangun jejaring untuk membuat gerakan literasi semakin melebar dan membuat komunitas literasi berbasis media sosial seperti Komunitas Penulis Berbalas Kompasiana (KPB). Â
Covid-19 bermuka dua untuk gerakan literasi, positif dan negatif. Sisi positif, sebagian orang-orang mengalihkan gerakan literasi dari dunia nyata ke dunia maya. Bermunculan kelas-kelas membaca buku dan menulis online di media sosial, gratis dan berbayar.
Dunia belajar identik dengan membaca dan menulis sejak SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Namun, membaca dan menulis itu tidak menjadikan minat membaca dan menulis sebagian murid dan mahasiswa tinggi atau kemampuan membaca dan menulis membaik.
Pun, sebagian murid dan mahasiswa berasumsi bahwa membaca dan menulis jadi beban, memberatkan, bikin pusing kepala dan anggapan-anggapan miring lainnya.
Membuat pekerjaan rumah (PR), makalah, resume dan bentuk tugas lainnya yang disuruh guru atau dosen, murid dan mahasiswa mampu. Lalu mengapa kontras?
Muncul rentetan pertanyaan, ada apa dengan membaca dan menulis? Mengapa membaca dan menulis jadi beban dan memberatkan?
Atau jejangan cara belajar yang berorentasi penilaian fisik selama ini sehingga mengabaikan membaca dan menulis yang berproses mengubah seseorang dari dalam ke luar.
Asumsi-asumsi keliru yang berkeliaran selama ini bahwa membaca dan menulis hanya untuk orang-orang yang bekerja di bidang kepenulisan saja seperti wartawan dan penulis.
Ini berbeda dengan Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan, yang mana tokoh-tokoh seperti Soekarno, M. Hatta dan Sjahrir, sebagai pelajar juga pembaca buku dan penulis.
Masa sekarang memang berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan tapi pailing tidak semangat membaca dan menulis tidak luntur. Ditambah lagi, akses memperoleh buku bacaan online mudah didapatkan. Â Â
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan bagaimana kemerdekaan Indonesia diraih dengan buku,membaca dan menulis oleh pejuang-pejuang kemerdekaan.
Suatu bangsa yang mengabaikan membaca dan menulis seperti tubuh yang berjasad namun tiada ruh. Tampak gagah di luar tapi keropos di dalam.
Pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan M, Natsir---untuk menyebut beberapa nama---dibesarkan dalam tradisi membaca dan menulis.
Kemerdekaan yang melahirkan nasionalisme bukan hanya diraih dengan mesiu dan perundingan tapi dari daya kata, buku dan tulisan. Â Â
Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Soekarno dan kawan-kawan seangkatan bukti dari membaca dan menulis dalam bentuk kelompok studi, kerja jurnalistik dan kesastraan tahap awal perjuangan.
Hatta, sejak 1924 aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnal Indonesia Merdeka dan tak lupa menulis puisi-puisi cinta tanah air.
Soekarno, di tahun 1926 membuat Algemene Studieclub beserta jurnal, Indonesia Moeda. Di saat yang sama, editor di majalah Sarekat Indonesia, Bandera Islam (1924-1927) dan penulis naskah drama di tempat pembuangan.
Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, berperan besar dalam jurnal Daulat Rakyat. Sjahrir dikenal juga pemain sandiwara yang mengerti sastra.
M. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan intens di organisasi Persatuan Islam. Sejak tahun 1929, Natsir menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor di jurnal Pembela Islam.
Tan Malaka, menulis buku Madilog, Dari Penjara ke Penjara dan buku-buku bertema perjuangan lainnya. Membuat kursus-kursus kepemudaan sehingga pemuda Indonesia melek literasi politik dan penjajahan.
JR
Curup
26/4/2021
[Ditulis untuk Kompasiana.com]
Yudi Latif. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H