Masa sekarang memang berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan tapi pailing tidak semangat membaca dan menulis tidak luntur. Ditambah lagi, akses memperoleh buku bacaan online mudah didapatkan. Â Â
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan bagaimana kemerdekaan Indonesia diraih dengan buku,membaca dan menulis oleh pejuang-pejuang kemerdekaan.
Suatu bangsa yang mengabaikan membaca dan menulis seperti tubuh yang berjasad namun tiada ruh. Tampak gagah di luar tapi keropos di dalam.
Pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan M, Natsir---untuk menyebut beberapa nama---dibesarkan dalam tradisi membaca dan menulis.
Kemerdekaan yang melahirkan nasionalisme bukan hanya diraih dengan mesiu dan perundingan tapi dari daya kata, buku dan tulisan. Â Â
Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Soekarno dan kawan-kawan seangkatan bukti dari membaca dan menulis dalam bentuk kelompok studi, kerja jurnalistik dan kesastraan tahap awal perjuangan.
Hatta, sejak 1924 aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnal Indonesia Merdeka dan tak lupa menulis puisi-puisi cinta tanah air.
Soekarno, di tahun 1926 membuat Algemene Studieclub beserta jurnal, Indonesia Moeda. Di saat yang sama, editor di majalah Sarekat Indonesia, Bandera Islam (1924-1927) dan penulis naskah drama di tempat pembuangan.
Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, berperan besar dalam jurnal Daulat Rakyat. Sjahrir dikenal juga pemain sandiwara yang mengerti sastra.
M. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan intens di organisasi Persatuan Islam. Sejak tahun 1929, Natsir menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor di jurnal Pembela Islam.