Sebagian para penggiat literasi ini melakukan ambil, tiru dan modifikasi (ATM) dan membangun jejaring untuk membuat gerakan literasi semakin melebar dan membuat komunitas literasi berbasis media sosial seperti Komunitas Penulis Berbalas Kompasiana (KPB). Â
Covid-19 bermuka dua untuk gerakan literasi, positif dan negatif. Sisi positif, sebagian orang-orang mengalihkan gerakan literasi dari dunia nyata ke dunia maya. Bermunculan kelas-kelas membaca buku dan menulis online di media sosial, gratis dan berbayar.
Dunia belajar identik dengan membaca dan menulis sejak SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Namun, membaca dan menulis itu tidak menjadikan minat membaca dan menulis sebagian murid dan mahasiswa tinggi atau kemampuan membaca dan menulis membaik.
Pun, sebagian murid dan mahasiswa berasumsi bahwa membaca dan menulis jadi beban, memberatkan, bikin pusing kepala dan anggapan-anggapan miring lainnya.
Membuat pekerjaan rumah (PR), makalah, resume dan bentuk tugas lainnya yang disuruh guru atau dosen, murid dan mahasiswa mampu. Lalu mengapa kontras?
Muncul rentetan pertanyaan, ada apa dengan membaca dan menulis? Mengapa membaca dan menulis jadi beban dan memberatkan?
Atau jejangan cara belajar yang berorentasi penilaian fisik selama ini sehingga mengabaikan membaca dan menulis yang berproses mengubah seseorang dari dalam ke luar.
Asumsi-asumsi keliru yang berkeliaran selama ini bahwa membaca dan menulis hanya untuk orang-orang yang bekerja di bidang kepenulisan saja seperti wartawan dan penulis.
Ini berbeda dengan Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan, yang mana tokoh-tokoh seperti Soekarno, M. Hatta dan Sjahrir, sebagai pelajar juga pembaca buku dan penulis.