Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Puisi (Masih) Ditulis?

22 Maret 2021   15:53 Diperbarui: 22 Maret 2021   16:15 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by Kompas.com

21 Maret 2021, Puisi dan Korona

21 Maret 1999, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan sebagai Hari Puisi Sedunia.

Penetapan itu bertujuan mendorong kembali kepada tradisi lisan pembacaan puisi, memperkenalkan pembacaan puisi, memulihkan dialog antara puisi dan seni lainnya seperti teater, tari, musik, dan seni lukis. (Dikutip dari laman website www.inews.id).

Di Hari Puisi Sedunia bertanggal 21 Maret 2021 ini ada yang berbeda, pandemi korona memasuki usia satu tahun. Pertanyaannya adalah seberapa penting Hari Puisi Sedunia dirayakan?

Beberapa komunitas baik berskala nasional dan lokal mengadakan lomba ciptas puisi bertemakan korona. Ada sebab mengapa lomba itu diadakan seperti, puisi ingin mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi, puisi menjadi pencerahan jiwa dan bertahan kala bencana datang dan puisi sebagai psikoterapi.

Ketiga hal itu menjadi penting mengapa puisi dirayakan di Hari Puisi Sedunia ini. Kata-kata menjadi penguat sekaligus pendorong jiwa seseorang untuk bertahan di ketidakpastian kapan korona berakhir.

Illustrated by Kompas.com
Illustrated by Kompas.com
Pemuisi dan Puisi yang Menemukan Makna dalam Rimba Kata

Setiap pemuisi mempunyai makna dan tujuan membuat puisi yang berbeda-beda namun diikat dalam estetika. Di lain sisi, puisi hadir sebagai perekam atas kondisi yang sedang terjadi.

Meskipun pemuisi diikat oleh estetika namun tak luput dari etika. Estetika dan etika berkelindan dalam puisi.

Pada W.S. Rendra, puisi bersuara sumbing yang memekakan telinga penguasa otoriter dan ketimpangan sosial. Bacalah penggalan puisi W.S. Rendra berjudul "Maskumambang".

"...Bangsa kita seperti dadu/terperangkap di dalam kaleng utang/yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa/tanpa kita mampu melawannya/semuanya terjadi atas nama pembangunan//yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan..."

Atau puisi Sapardi Djoko Damono merupakan bunyi yang sederhana tentang pengalaman dan kehidupan manusia.

Simaklah puisi Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono, "tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni/dirahasiakan rintik rindunya kepada pohon berbunga itu/tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni/dihapusnya jejajk-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu...".

Puisi terus hadir, tumbuh dan berkembang. Kematian seseorang pemuisi tak membuat puisi hilang dari semesta manusia, seperti petitih, "Mati satu, tumbuh seribu".

Kehadiran pemuisi pada setiap zaman akan memunculkan gaya, diksi dan estetika yang berbeda-beda. Sebab, pemuisi hidup di masa dan tantangan yang berbeda-beda. Pun, "selera pasar" kadang jadi pertimbangan namun tak mutlak.

Illustrated by Istockphoto.com
Illustrated by Istockphoto.com
Puisi Yang Diuji Waktu

Pemuisi dan puisi diuji waktu untuk berkarya dan berterima dengan masyarakat. Ketahanan proses kreativitas dan penemuan gaya baru terus digali sebab kerja-kerja kreatif dituntut dalam puisi.

Pemuisi Joko Pinurbo, yang dipengaruhi oleh Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad melakukan kerja-kerja kreatif sehingga puisi yang dihasilkan merupakan ciri khas Joko Pinurbo.

Puisi Joko Pinurbo penuh guyon dari kegiatan manusia yang ia lihat namun hasil dari permenungan. Puisi Joko Pinurbo dapat dianggap  sebagai  puisi permenungan dalam balutan humor yang dekat dalam keseharian hidup manusia.

Puisi "Telepon Genggam" Joko Pinurbo, "...Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa/jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan/celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan/ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi/mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati..."

Gaya puisi, diksi dan estetika itu pilihan pribadi si pemuisi yang tak bisa dipaksakan seragam sebab proses kreativitas yang berujung karya setiap pemuisi berbeda-beda.

Namun, pemuisi tidak bermukim di kehampaan ruang dan berjarak dari kenyataan hidup. Selalu ada pesan yang ingin disampaikan. Kata-kata yang dibuat pemuisi merupakan respon atas apa yang direnungi dan dialami dari kejadian sekitar.

Seperti gabus busa (spons) yang mengisap air dan dapat digunakan suatu ketika. Pada puisi, gabus busa itu mengisap kenyataan hidup yang terjadi dan dialami manusia kemudian dituliskan menjadi puisi.

Kenyataan hidup bisa berupa; penderitaan, kebahagiaan, realitas yang berjarak, dan lainnya. Sehingga Jalaluddin Rumi berujar, "Puisi merupakan puncak  pencapaian manusia ketika sesuatu itu tak mampu diungkapkan".

JR

Curup

Maret, 22, 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun