Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sepeda, Jatuh Bangun, dan Keseimbangan

6 September 2020   12:48 Diperbarui: 6 September 2020   12:50 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by Pixabay.com

Kenangan Belajar Bersepeda

Melihat orang-orang menyukai bersepeda saat ini. Ingatan waktu memutar ke masa kecil ketika belajar sepeda.

Kala itu belajar bersepeda sendirian. Tak ada yang menunjuki dan tips 30 menit mahir bersepeda belum ada. Cuma bermodal nekad.

Bisa saja kan, gegara musim bersepeda akan lahir buku "Tips Mahir Bersepeda 30 Menit untuk Segala Usia."

Teras rumah tetangga yang menurun jadi tempat belajar. Memakai sepeda BMX mini berwarna hitam yang turun-temurun dari kakak.

Tidak ada rem dan dua roda bantu dibelakang sepeda. Rumput disekitar rumah tetangga lah dijadikan rem untuk menghentikan laju sepeda.

Usai belajar bersepeda. Lecet di tangan dan kaki 'hadiah' yang diterima. Kapokkah? Berhentikah? Tidak.

Besok, besoknya dan besoknya lagi setelah pulang sekolah belajar sepeda sendiri tetap berlanjut.

Saya tidak ingat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar bersepeda sendirian sampai mampu bersepeda.

Yang jelas, belajar untuk mampu menguasai dan mampu melakukan sesuatu itu butuh waktu dan penderitaan, bukankah begitu?

Setelah mampu bersepeda maka mencoba untuk mengendarai sepeda kepunyaan ayah. Sepeda punya ayah tinggi baik dari ukuran, tempat duduk dan stang. Beberapa hari belajar menyesuaikan dan mampu.

Dengan sepeda ayah ketika libur sekolah bersama teman-teman ngebolang bersepeda dan ikut lomba sepeda cross. Tapi tidak menang.

Illustrated by Pixabay.com
Illustrated by Pixabay.com
Bersepeda, Jatuh Bangun dan Keseimbangan

Resiko belajar bersepeda jatuh dan bangun. Rasa putus asa kan hampiri, kan namanya belajar? Tapi tekad untuk menaklukan sampai mampu bersepeda mengalahkan rasa putus asa.

Disamping itu juga ketika bersepeda perlu menjaga keseimbangan tubuh supaya tidak terjatuh dengan mudah.

Kata keseimbangan itu saya dapatkan ketika mulai belajar mengendarai motor. Jika mampu bersepeda maka mampu mengendarai motor.

Jatuh, bangun dan keseimbangan mungkin kata namun dalam belantara kehidupan kan jadi penting.

Ada saat seseorang jatuh terpuruk semakin dalam sehingga untuk bangun perlu waktu tapi ia harus bangun, kan?

Ada seseorang yang jatuh, bangun, jatuh dan bangun lagi. Seolah-olah energi bangun dari terjatuh sangat besar. Orang-orang seperti ini perlu dicontoh, kan?

Kan sukar --bukan tak ada--- ditemui orang-orang yang jatuh kemudian bangun dan mencoba tidak jatuh lagi.

Karena meyakini "Tak ingin berkubang dilumpur kejatuhan yang sama dua kali." Orang-orang seperti ini melampaui contoh. Ia jadi guru kehidupan.

Jatuh dan bangun kan membentuk keseimbangan kehidupan. Ia semacam alarm yang mengingatkan "Boleh jatuh namun bangun dan hati-hati jangan sampai terjatuh lagi." Bukankah begitu?

JR
Curup
06.09.2020
[Ditulis untuk Kompasiana.com]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun