Kata-kata, cinta, kayu, api, abu, isyarat, awan, hujan, dan tiada, kita mengetahui itu semua melalui panca indera.
Namun oleh Sapardi dijadikan imaji (simbol) yang kuat dalam bentuk puisi dan memori otak kita menerima dan mengingat itu.
Sebab itulah puisi berjudul "Aku Ingin" sampai kini dibaca para muda-mudi yang sedang mabuk cinta atau tertulis di surat undangan pernikahan.
Puisi Sapardi yang melihat kondisi manusia dan alam sekitar kemudian di-puisi-kan dengan bunyi sederhana, penuh simbol (imaji), halus menghujam rasa batin dan mudah dingat kenang.
Karakter puisi Sapardi seperti diatas tampaknya penghayatan kearifan Jawa untuk "sak madyo" (segalanya diraih dengan cara upaya yang sedang-sedang saja). Dan ketika kecil Sapardi Djoko Damono tumbuh dalam iklim desa yang dekat dengan alam
Di lain sisi bagi Sapardi "puisi adalah bunyi sederhana yang setiap orang bebas menafsirkan." Diantara "berhasilnya" puisi ditandai dengan orang lain bebas menafsirkan dari puisi yang dibuat si pemuisi.
Semakin orang bebas menafsirkan versi masing-masing dari puisi itu maka ia berperam lama di memori massa dan dikenang.
Puisi Sapardi kuat dengan imaji-imaji (simbol) namun dibungkus dalam kondisi keseharian manusia.
Ekspresi perasaan pribadi yang bercakap-cakap dengan diri sendiri yang bertumpu dari pengalaman keseharian sebagai manusia.
Kekuatan puisi Sapardi Djoko Damono ada pada kesederhanaan bunyi, penuh simbol (imaji), puisi sebagai percakapan lisan yang pribadi, dan menceritakan kondisi manusia.
Akhir tulisan ini, mari kita mengenang Sapardi Djoko Damono dengan puisi yang ia buat sebagai isyarat bahwa "Kita kekal bersama puisi yang dibuat Sapardi dan maut itu pasti."