Animale Rationale_Aristoteles_Filsuf Yunani Kuno_
Filsafat, pertanyaan yang tiada henti dari fenomena kebenaran Tuhan, alam dan manusia sehingga dimengerti oleh akal_Anymous_
Manusia Hewan yang Berpikir
Manusia adalah hewan yang berpikir (animale rationale) pernyataan ini dikemukan oleh Aristoteles untuk mencari jawab perbedaan antara hewan dan manusia yaitu berpikir.
Walaupun di lain sisi ada persamaan manusia dan hewan yaitu kebutuhan biologis, makan, minum, dan kesamaan secara fisik seperti memiliki kepala, tangan, kaki dan perut. Â
Kemunculan filsafat di tanah Yunani Kuno merupakan bentuk perlawanan akal (rasio) kepada dongeng (mitos) yang melingkupi cara berpikir masyarakat.
Mitos lahir karena keterbatasan pengetahuan manusia, ingin melebih-lebihkan cerita dan "kemalasan" berpikir yang dianggap rumit maka cukuplah mitos menjadi alat "pemuas" pengetahuan manusia. Â
Pencarian kebenaran, manakah yang paling benar akal atau mitos menjadikan tanah Yunani Kuno medan laga pemikiran yang mengasyikkan. Manusia dengan alat berpikir akal itu mencari kebenaran.
Namun pemikiran akal sehat yang melahirkan filsafat dibenci oleh penguasa yang menggunakan akal sakit dibaluti mitos dan ingin selamanya mempertahankan kekuasaan.
Maka bagaimanapun caranya orang-orang yang berpikir kritis dibuat bungkam demi keabadian kuasa.
Berbeda pemikiran apalagi melawan penguasa adalah kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Kebenaran adalah tafsir tunggal penguasa dan diluar itu salah.
Nyatanya kemenangan akal diraih dan mitos tercampak sebab tak penuhi hasrat manusia untuk maju dan berkembang dalam kehidupan yang buat kelahiran ilmu pengetahuan.
Pentingkah Filsafat di Masa Pandemik?
Tuhan memberikan manusia sebuah alat yang dengan alat itu mampu bedakan mana yang benar dan salah. Alat ini disebut dengan akal.
Alat "akal" ini digunakan untuk berpikir. Kegiatan berpikir filsafat yaitu berpikir secara mendalam, secara rasional, secara kritis, secara komprehensif.
Filsafat menawarkan cara berpikir alternatif, melawan kejumudan, dan menghargai akal sebagai pemberian Tuhan. Â
Untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 orang-orang melakukan berbagai cara seperti memakai masker, menjaga jarak 2 meter, cuci tangan pakai sabun di air mengalir, tetap di rumah, tes swab dan lainnya. Ini bertujuan baik.
Sayangnya tidak semua orang berpikir untuk bagaimana memutus mata rantai itu namun menyatakan bahwa Covid-19 ini azab dari Tuhan, konspirasi dari suatu negara dan upaya melemahkan kedigdayaan politik dan ekonomi suatu negara. Â Â
Asumsi, sentimen dan praduga menyeruak ke permukaaan di bulan keempat masa pagebluk (wabah) ini.Â
Kabar-kabar yang mempertanyakan sejauh mana kebenaran adanya Covid-19 berseliweran di media sosial.
Keraguan itu wajar namun kalau berhenti di keraguan kemudian tidak coba mencari jawab untuk menyelesaikan keraguan rasanya itu kurang wajar.
Asumsi itu lumrah. akan menjadi tidak lumrah ketika asumsi dijadikan pembenaran pendapat sendiri kemudian menyalahkan pendapat orang lain tanpa berpikir kritis dari informasi yang diperoleh tadi.
Sentimen yang merupakan pandangan yang didasarkan kepada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu menjadi kesalahan fatal ketika tiada melakukan pertimbangan dan pencarian kebenaran dengan akal pikiran.
Praduga sebagai anggapan tentang sesuatu tanpa harus dibuktikan dahulu akan menjebloskan sesorang kepada penyesalan keputusan.Â
Karena setiap kabar yang datang sudah dianggap benar dan tak bisa digugat padahal itu belum dibuktikan.
Lalu bagaimana cara berpikir filsafat diadopsi dalam kehidupan sehari-hari di masa pandemik ini sehingga keoptimisan terjaga bahwa wabah kan berakhir.
Filsafat memiliki ciri-ciri berpikir yang ketika dilakukan kegiatan ciri berpikir filsafat itu maka ia disebut berpikir filosofis.
Pertama, memikirkan kabar itu secara mendalam (radikal).Â
Apakah kabar itu benar atau salah? Orang yang menyampaikan kabar itu kapasitasnya sebagai apa?
Tujuan berpikir radikal supaya seseorang berpikir kritis dari kabar yang diterima itu.Â
Pun sahih sehingga keputusan yang diambil berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Kedua, pertimbangan menurut pikiran dan logis atau menurut pikiran yang sehat (rasional).
Kabar yang datang mestilah ditelaah dengan pikiran yang sehat. Untuk sementara emosi "dikurung" terlebih dahulu sampai kebenaran rasional diperoleh.
Tujuan berpikir rasional yaitu menyingkap "ada apa dibalik kabar itu."Â
Sebagai kabar ia telah melalui proses sampai-menyampai dari orang-orang ke orang yang mungkin saja terjadi pengubahan kalimat dari yang sebenarnya.
Ketiga, berpikir dari berbagai aspek atau  sudut pandang (komprehensif).Â
Kabar ketika disampaikan perlu dilihat dari berbagai aspek. Apakah kabar itu dari orang yang mengerti duduk persoalan itu?Â
Jejangan hanya kabar burung? Bisa saja kabar itu jauh dari maksud yang dituju sebenarnya? Â
Tujuan berpikr komprehensif yaitu pengungkapan dari berbagai sisi sehingga diterima kebenarannya oleh semua orang (objektif).
Sejatinya filsafat bukanlah kajian mengawang-awang, jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat, berpikir di menara gading tanpa berkubang lumpur persolan kehidupan manusia.
Filsafat lahir untuk menyelesaikan permasalahan hidup manusia dengan berpikir mendalam, rasiona, kritis dan komprehensif.
Di sinilah titik pijak filsafat yang membuatnya berbeda dengan sains (ilmu pengetahuan) dan agama.
Pencarian kebenaran mendalam dengan akal yang kritis sehingga diungkap mana kabar Covid-19 yang benar dan mana yang palsu.Â
Karena pandangan mata (baca; media sosial) bisa saja menipu bukan?
Jamalludin Rahmat (JR)
Curup
24 Juni 2020-06-24
[Ditulis untuk Kompasiana.com]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H