Sikap Penguasa terhadap Kritik
Penguasa alergi dengan kritik karena kritik dianggap mencari-cari kesalahan untuk diumbar ke publik dengan tujuan menjelek-jelekkan dan syukur jika kesalahan itu semakin tampak membesar dan rakyat melakukan demonstrasi.Â
Seperti tukang sate yang mengipasi bara api untuk matangnya daging sate, makin dikipas makin asyik, bukankah bara api menjadi penyulut. Â
Karena itulah penguasa dengan berbagai cara menutup pintu rapat-rapat untuk masuknya kritik ke dalam rumah (baca; kekuasaan) dan menyudutkan orang-orang yang mengkritik dengan dalih menjaga kestabilan negara.
Pers dibungkam, akses internet di perlambat bahkan dicekal, aparat keamanan dikerahkan bermodalkan gas airmata, mobil water canon, pentungan bahkan senjata, adanya pasal karet dalam Undang-undang untuk membidik yang kritis.
Sampaikah di situ saja? Ternyata tidak. Perlahan-lahan terjadi penghalusan bahasa (eufisme), sebagai contoh orang yang korupsi (koruptor) yang dikenal sebagai perampok uang negara diperhalus bahasanya menjadi maling.
Orde Baru dengan Presiden daripada Soeharto menjadi contoh bagaimana eufisme itu merasuk dalam bahasa keseharian dengan mesin birokrasi atas nama pembangunan.Â
Kelanggengan penghalusan bahasa ini menggunakan mesin birokrasi berupa Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI), birokrasi, dan Golkar ataukah mungkin melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia di masa itu?
Politik sebagai panglima merupakan bentuk bahasa lain yang "diperjual belikan''sehingga segala kritik yang muncul dari masyarakat diberangus langsung.
Di masa daripada Orde Baru ini, Soeharto adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah Soeharto maka segala bentuk kritik dari siapapun dan kalangan apapun dianggap penghinaan kepada kepala negara (presiden).
Belajar dari Cicero dan Cak Nun