Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Kursi Jadi Bahasa Politik

31 Juli 2019   21:44 Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:24 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memperebutkan kursi. (kompas)

"Yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan suatu demokrasi bukanlah orang-orang biasa, melainkan perilaku elite politik."--Bermeo.

 Hingga dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia beserta para menterinya, panggung politik Indonesia akan terasa melelahkan untuk rakyat Indonesia. 

Surat kabar, berita online, dan berita di televisi menyuguhkan berita tentang elite partai politik dan politisi yang berkumpul di sana dan berkumpul di sini melakukan  lobi tingkat dewa untuk mendapatkan jatah kursi menteri, kursi pimpinan DPR, kursi pimpinan MPR.

Mengutip tulisan Yudi Latif di cetak.kompas.com (28/04/2009) yang berjudul "Koalisi Tunanilai,":

"Pemimpin partai sibuk bermanuver politik secara zig-zag, tanpa beban berganti-ganti posisi etis. Partai-partai yang bercorak liberal rela bersanding dengan partai-partai bercorak iliberal (pun nasionalis dengan liberal). Rujukan koalisi bukanlah titik temu dalam nilai dan visi, melainkan semata-mata berdasarkan alokasi sumber daya dan kursi. Platform yang disusun secara serabutan diajukan sekadar alat justifikasi (pembenaran)."

Apa yang dituliskan oleh Yudi Latif di atas sangatlah benar. Ketika energi para elite politik, politisi dan partai politik tercurahkan semata mengejar kursi maka yang terjadi politik tanpa kejelasan visi. 

Politik yang meriah bak pesta pora, berbiaya mahal tanpa arah ke depan yang semu kalau tak mau disebut menjemukan dan komitmen ketika kampanye untuk penyelesaian masalah-masalah mendasar rakyat Indonesia jauh panggang dari api.

Ketika kursi menjadi bahasa politik yang terkorbankan adalah rakyat yang memiliki harapan tinggi kepada pemenang pemilu (presiden dan anggota dewan) untuk tercapainya kesejahteraan rakyat. Sejatinya pemilu yang dimenangkan oleh yang terpilih merupakan kemenangan semua pihak.

Para pemenang dan para kalah memiliki perannya masing-masing, punya ruang kehormatan sendiri-sendiri. Bukankah semuanya (para pemenang dan para kalah) bekerja untuk tuan yang sama yaitu sang demos (rakyat).

Ketika kursi menjadi bahasa politik sangatlah berbahaya karena untuk pemilu berikutnya kejadian ini akan berulang-ulang. 

Mereka yang menjadikan "kursi sebagai bahasa politik" akan menjauhkan pentingnya prinsip moral (nilai-nilai) dalam berpolitik dan tujuan pemilu yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, pemilu sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat, pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilu untuk melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (secara konstitusional), dan pemilu untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional terpudarkan lambat-laun.   

Pertarungan politik (jika masih tetap ingin memaknai politik sebagai pertarungan) yang dilakukan oleh para elite dan politisi di medan laga politik dengan segala daya upaya untuk menjadikan satunya-satunya tujuan berpolitik adalah kursi sebagai bahasa politik maka bersiap-siaplah terjadinya kematian politik.  

Nasib kontestasi politik Indonesia untuk beberapa tahun ke depan rasanya tak akan jauh-jauh dari "pertarungan berebut kursi" bukan "pertarungan gagasan." 

Maka wajar bahwa perlombaan (kontestasi) dalam politik kursi sama bahayanya dengan peperangan, bahkan lebih berbahaya. Dalam peperangan, orang hanya mati satu kali, sedangkan dalam politik kursi, orang bisa saja mati berkali-kali kemudian hidup lagi berkali-kali demi sebuah kursi."

JR
Curup
31.07.2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun