Taman siswa menurunkan mutu pengadjaran dan membawa kita kembali sepuluh tahun ke belakang! Memang kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat mengingini untuk menemukan 'titik tolak' agar kita dapat berorientasi kembali: kita telah salah djalan_Ki Hadjar Dewantara_
Pagi tadi (22/07/2019) saya diajak oleh Pak Rizal Eppendi untuk bersilaturahmi ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 14 Talang Ulu Kecamatan Curup Tengah dan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 10 Karang Anyar Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Madrasah Ibtidaiyah setingkat Sekolah Dasar (SD).
Kedatangan kami disambut dengan senyum dan bersalaman (tradisi yang selalu dibiasakan dan dilakukan oleh Pak Rizal Eppendi kepada siapapun bertemu) dengan para guru dan minum kopi (kopi Curup, termasuk kopi terbaik di Indonesia).
MIM Talang Ulu dan MIM 10 Karang Anyar merupakan dua sekolah dari sekian sekolah yang ada di bawah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Rejang Lebong yang sedang menggeliat dari sisi jumlah peserta didik baru yang bertambah banyak, peningkatan mutu guru dan murid, kualitas sarana prasarana, kurikulum berorientasi pengamalan keagamaan dengan salat duha, kegiatan tahfiz (penghapal) al-Qur'an, satu murid dalam satu tahun tahfiz (hapal) al-Qur'an 30 juz dan salat zuhur berjamaah. MIM 10 Karang Anyar kepala sekolah yaitu Burhan Fajri sedangkan MIM 14 Talang Ulu kepala sekolah adalah Cica Nurhidayah.
Sambil menemani Pak Rizal Eppendi berbincang-bincang dengan beberapa orang guru tersebut maka pertanyaan-pertanyaan mengemuka di pikiran saya seperti apa itu sekolah? Murid atau siswa sebagai subjek dan objek dari sekolah "dibangun" atau "ditanam"?
Kata sekolah berasal dari Bahasa Yunani Kuno "schola" yang berarti waktu luang. Di masa Yunani Kuno, anak-anak untuk mengisi waktu luangnya maka belajar dengan orangtuanya. Orangtua menjadi guru.
Seiring perjalanan waktu, kerja orangtua semakin menumpuk dan jenis pekerjaan makin berkembang maka orangtua tidak lagi memiliki waktu mengajar anak-anaknya. Mulailah, orang-orang pintar dititipkan anak-anak oleh para orangtua supaya diajari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam hidupnya. Dari inilah konsep sekolah bermula. Â
Perkembangan selanjutnya pendidikan sekolah mesti memperhatikan unsur-unsur pendidikan seperti tujuan pendidikan, kurikulum, pendidik (guru), peserta didik (murid), cara yang digunakan dalam mendidik (metode), lingkungan sekolah dan sarana prasarana yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh para orangtua.
Unsur-unsur tersebut kemudian oleh badan yang berwenang dinilai (akreditasi) yaitu pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu. Pemenuhan syarat kebakuan atau kriteria tertentu itu membuat sebagian sekolah "berpacu" untuk memaksimalkan "membangun" standar mutu dengan meminimalkan "menanam" mutu siswa. Â Â Â
Kata "membangun" merupakan kata kerja dari "bangun" yang berarti bangkit berdiri, dan naik seperti bangkit dari tidur dan berdiri dari duduk, dan sebagainya. Karenanya kata "membangun" lebih tepat diartikan dengan mendirikan sesuatu yang dibangun seperti gedung, rumah tinggal dan yang lainnya.
Kata "membangun" tidak tepat ditujukan kepada manusia (siswa atau murid) yang sedang melakukan pendidikan sekolah karena ukurannya adalah fisik dan kasat mata.
Ini berbeda dengan "menanam" yang berarti menaruh (bibit, benih, setek, dan sebagainya) di dalam tanah supaya tumbuh. Pun "menanam" juga berarti menaburkan (paham, ajaran, dan sebagainya). Menanam juga berarti memasukkan, membangkitkan, atau memelihara (perasaan, cinta kasih, semangat, dan sebagainya). Mengutip dari tulisan Zaldy Chan berjudul "Menanam" Manusia di www.kompasiana.com bahwa "Manusia dan tumbuhan seumpama cabe, sama-sama makhluk hidup, kan? Tanaman cabe memiliki fase persemaian, pembenihan, penanaman, perawatan atau pemeliharaan serta panen yang terukur. Dan hasil panennya pasti cabe! Pun yang menanam manusia terkadang tak sempat panen."
 "Membangun" mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun menyelesaikan pekerjaan, tapi suatu hari, para pembangun menyelesaikan apa yang mereka lakukan. Kemudian para pembangun sadar bahwa mereka terkurung oleh tembok-tembok yang dibuat sendiri. Hidup kehilangan maknanya ketika pembangunan berhenti.
Berbeda dengan "menanam." Para penanam bertahan melewati banyak badai dan segala perubahan musim, dan kadangkala beristirahat. Tapi, tidak seperti bangunan, kebun tak pernah berhenti tumbuh. Dan selagi kebun (siswa atau murid) itu membutuhkan perhatian penuh tukang kebun (guru), kebun itu juga membuat hidup sang tukang kebun menjadi petualangan besar penuh makna dan bergelimang berkah. Â Â
JR
Curup
22.07.2019.
Taman Bacaan
apaarti.com
ilmusipil.com
kbbi.web.id
kompasiana.com//zaldy chan "Menanam" Manusia
Paulo Coelho. Brida. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H