Kenangan adalah anak waktu
yang bermain di air dengan riang,
pada sore hari dengan teman-teman.
tertawa, bercanda ria, saling memercikan air,
senja memerah, waktu bermain habis.
pulang masih dengan tertawa, bercanda ria,
berdentum jam di jantung ingatan. hilangkah ia?
waktu adalah anak kenangan.
Tulisan sederhana dan emosional ini saya buat sebagai pengingat dan pengalaman. Sederhana, karena apa yang ditulis adalah kesan kenangan yang saya alami ketika bersekolah di Pondok Pesantren Thawalib Putra dari tahun 1994 sampai 2001.
Emosional, kata inilah yang dialami oleh orang yang pernah bersekolah di Thawalib. Emosional adalah suatu ikatan kejiwaan yang senasib sepenanggungan karena mengalami hal yang sama. Sandal yang pernah di curi ketika shalat berjamaah di Masjid Mujahidin Thawalib, singlet --kaos dalam-- yang sering hilang walaupun sudah dituliskan nama.
Dihukum dengan hanger dan rotan yang membuat pedih telapak tangan dan tapak kaki. Menonton bioskop di pasar Padang Panjang secara diam-diam agar tidak ketahuan oleh Harisul Ma'ahad --sekuriti Thawalib yang berasal dari kakak kelas--. Merokok secara diam-diam di loteng kamar ketika istirahat sekolah, berutang di kedai Kak Nali dan dibayar ketika wesel tiba dengan pergi ke tempat Pak Jarod Kalimandara.
Kakak Jadi Pemicu
Setamat sekolah dasar, tidak terbayangkan oleh saya bahwa akan melanjutkan sekolah ke suatu daerah yang sangat dingin, dan budaya, bahasa yang berbeda. Kakak saya telah bersekolah di Perguruan Thawalib Putra Padang Panjang dan saat itu kelas III Thawalib.
Tidak banyak cerita yang saya dapatkan dari sang abang tentang sekolah tersebut kecuali ia sering pulang dengan membawa kaset Malaysia yang berisikan lagu-lagu dari kelompok band Saleem dan Iklim. Ketertarikan apa sehingga saya mau bersekolah di sebuah sekolah yang diisi oleh anak laki-laki dari berbagai kabupaten dan provinsi yang ada di Indonesia. Yang jelas, ketika ayah bertanya "Kamu mau bersekolah dimana?" secara spontan saya jawab, "Saya mau sekolah dimana abang sekarang bersekolah."
Tahun 1994, saya sampailah ditempat yang dituju. Pada pagi yang benar-benar dingin karena saya sampai pukul 6 pagi setelah melalui perjalanan darat --menaiki bus Bengkulu Indah-- selama 22 jam dari kampung.
Kedatangan saya di Kota Padang Panjang disambut oleh bendi yang menunggu penumpang di depan Gedung M. Syafii, Pasar Padang Panjang maka meluncurlah kami ke Thawalib Putra. Sepanjang perjalanan jalan yang dilewati adalah Pasar Padang Panjang, Jalan Jembatan Besi, Depan Diniyyah Puteri, Masjid Asliyah dan sampailah di Thawalib Putra.
Kakak saya berkamar di kamar A-13, yang dihuni oleh anak-anak kelas III Thawalib dengan memiliki ketua dan wakil ketua kamar. Ketua kamarnya adalah Bang Maidi M. Iman dari Lubuk Linggau sedangkan wakil ketua kamar Bang Samsir dari Jambi.
Untuk sementara di kamar inilah saya tinggal sambil mengikuti tes masuk. Sialnya, saya sulit untuk mengingat kembali bagaimana tes masuk ini sampai sekarang, apa yang saya ingat adalah bahwa saya ditempatkan dikamar C- 2 dengan jumlah 12 orang di dipan yang datar dan masing-masing dari kami memiliki lemari. Ketua kamar Bang M. Basyir dan wakil kamar Bang Syafrizal.
Tentang kamar ini sangat berbeda antara kamar A dengan kamar C, jika kamar A memiliki tempat tidur atau disebut dengan dipan dua tingkat, bersegi empat dan jumlah penghuninya 11 orang sedangkan kamar C, memiliki dipan yang datar dengan jumlah orang 12 dan ada satu kamar lagi dibelakangnya yang dihuni oleh ketua dan wakil ketua kamar tapi tidak memiliki dapur.
Tentang Bang Basyir ini, satu yang benar-benar saya ingat dari beliau adalah ketika ia pindah dari Kamar C-2 dan tidak lagi menjabat ketua kamar maka dikumpulkanlah kami semua kemudian diberi hadiah yaitu dihukum dengan hanger yang melekat pada telapak tangan. Sakit sekali.
Di masa saya ini kelas 1 Thawawalib -- setingkat kelas 1 Tsanawiyah--berjumlah 5 lokal. Menurut kebiasaan, pembagian kelas ini sesuai dengan hasil tes masuk. Saya, tidak tahu apakah karena nilai tes masuk kurang bagus sehingga saya ditempatkan di lokal 5, yang jelas saya sekelas dengan Rifki Firdaus anak dari Bapak Firdaus Tamin, guru dari mata pelajaran akhlak.
Hukuman disekolah pertama kali saya terima dari Bapak Akhyar Jasit ketika pelajaran nahwu-sharaf dengan ditariknya kuping karena ketahuan memanjat jendela lokal. Dan untuk selanjutnya cerita-cerita tentang bagaimana saya bersekolah di Thawalib Putra berlanjut dengan keragaman suka dan duka, tertawa dan menangis, sedih dan bahagia. Di Tahun 2001, adalah tamatnya saya dari Thawalib.
Seorang alumni Thawalib Putra pernah berkata kepada saya ketika ia melihat dan bertemu dengan alumni-alumni lainnya, "Bahwa ketika bertemunya alumni pada suatu waktu atau tempat maka pembicaraan yang paling dominan adalah kenangan-kenangan ketika bersekolah di Thawalib, tidak lebih dari itu. Kenapa kita tidak bercerita tentang sesuatu yang nyata dan berdampak." Saya menjawab dalam diam.
Manusia, waktu dan kenangan selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali. Keterkaitan ini pemicunya bukan saja disengaja diciptakan oleh si manusia yang mempunyai hati atau jiwa kemudian mengendap peram di otak atau pikiran kita yang disebut dengan "memori" kerjanya persis dengan seperangkat alat komputer. Hati dan pikiran manusia dapat menyimpan hal-hal yang pernah dialami dan akan dimunculkannya ketika ia bertemu dengan orang yang pernah mengalami keadaan atau nasib yang sama.
Kenangan adalah sesuatu yang nyata. Nyata karena ia pernah dialami. Kenangan selanjutnya akan membuat sejarah bagi hidup yang dijalani manusia. Kenangan buruk kemudian menjadi pedoman agar tak terulang kembali, kenangan baik patutlah untuk dilanjutkan.
Kenangan bagi manusia bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Manis dan pahit. Manis, ketika hal-hal yang yang dikenang adalah kejadian yang dialami --baik dan buruk-- dan tidak dialami oleh orang lain. Disinilah kenangan diartikan sebagai hal yang diingat, pernah dialami dan tidak setiap orang mengalami.
Contoh, pada waktu saya sekolah atau belajar di sekolah Thawalib sangatlah maju. Pahit, ketika apa yang dialami dulu justru berbeda dengan dengan sekarang. Realita yang jauh dari cita. Oleh karenanya, siapapun ia berhak mengklaim bahwa kenanganan yang sampai saat ini tersimpan dalam memori otaknya yang dahulu pernah dialami adalah terbaik menurut ia. Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah memori yang kenangan yang ada pada setiap diri alumni Thawalib ini menjadi sebuah gerakan yang paling tidak membangkitkan Thawalib kembali dari "mati suri."
Bagi saya kenangan-kenangan yang dituliskan tidak akan bermakna apa-apa ketika ia terhenti pada tulisan. Rangkaian huruf demi huruf yang jadi kalimat "Aku dulu sekolah di pesantren ini dan ini yang dialami" kemudian teman yang lain menimpali dengan yang sama. Dulu, itu adalah rangkaian huruf yang mati. Yang diperlukan adalah rangkaian huruf-huruf yang menggerakkan kenangan dihimpun dalam ikatan emosional disini dan sekarang. Bukan dulu zaman yang telah lalu.
Bagi saya, memori kenangan yang oleh sebagian anggapan orang hanya yang terkait dengan otak atau pikiran, saya tidak setuju. Otak terhubung dengan hati, perasaan emosional. Karena itulah yang namanya "kenangan" sulit dilupakan walau usia bertambah dan zaman berubah.
Disadari atau tidak ia yang dulu hilang dari otak atau pikiran yang sibuk dipakai untuk urusan lain pasti akan kembali. Maka, yang terjadi adalah alumni thawalib yang dulu tidak begitu perhatian pada peristiwa-peristiwa kenangan ketika bersekolah di Thawalib akan mengenang kembali karena sejatinya kenangan adalah perpaduan otak atau pikiran dengan hati, pikiran dan perasaan.
Dapat dipahami, ketika terjadi hal yang buruk pada sesuatu yang dikenang maka akan memunculkan suatu perasaan yang menolak agar itu tidak terulang. Kita menolak Thawalib hilang dari pentas pendidikan.
JR
Curup
Selasa. 25.06.2019. 18.54
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H