Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sindhunata, Wartawan Humanis

30 Mei 2019   17:38 Diperbarui: 30 Mei 2019   17:57 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar dari instagram.com/sabdaperubahan)

Wartawan dalam menjalankan profesinya harus berani menentukan pilihan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan _Sindhunata_

Sindhunata berhasil mengangkat kejadian persoalan hidup ke panggung reportase dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdesak, berkeringat, berarirmata, bersenyum dan berpengharapan _Jakob Oetama_

Berpihak Ke mana Wartawan?

Dunia wartawan Indonesia telah melahirkan beribu wartawan yang mengikat diri di berbagai media massa dan cetak (surat kabar, majalah, radio, televisi maupun media daring) dan bergelut pada beragama genre tulisan seperti feature, opini dan essay.

Bahkan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2018 pada tanggal 9 Februari di Padang, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyatakan, saat ini Indonesia menjadi negara yang paling banyak memiliki media massa di dunia.

Dengan jumlahnya yang mencapai 47.000 terbagi media cetak, radio, televisi dan media online. "Dari jumlah itu 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan lebihnya media daring." (Tirto.id, 9 Februari 2018).

Lebih lanjut kata Yosep, masih banyak media yang tidak memenuhi syarat tetapi masih tetap eksis karena dibantu APBD. Selain itu, masih banyak wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan baru ada 14 ribu wartawan yang terdaftar dan memiliki kompetensi pun tidak memiliki pengetahuan jurnalistik yang cukup serta tidak pernah mengikuti pelatihan jurnalistik.

Dinamika kewartawanan saat ini yang tersebut diatas sebabkan sebagian orang mempertanyakan dan meragukan keakuratan berita yang disampaikan, mempertanyakan keberpihakan kepada orang-orang tertindas dan kemanusiaan serta sejauhmana profesi wartawan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik.

Sering terjadi dan tak pernah sepi gugatan terhadap wartawan terkait dengan tidak dipenuhinya sebagian kode etik sebagai panduan dalam bekerja mencari dan menyusun berita seperti independen, akurat dalam pemberitaan, berimbang, tidak melakukan plagiat, selalu menguji informasi (cek dan ricek, verifikasi).

Tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi , tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul, tidak menyalahgunakan profesi, tidak menerima suap -uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Bukankah wartawan adalah orang-orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi atau juru warta dan jurnalis. Intinya ada 2 hal yang dilakukan wartawan yaitu mencari berita dan menyusunnya menjadi berita dan semestinya berpegang pada kode etik jurnalistiknya.

(Sumber gambar dari instagram.com/sabdaperubahan)
(Sumber gambar dari instagram.com/sabdaperubahan)
Jejak Kewartawanan Sindhunata

Bagi saya, pekerjaan pertama seorang wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan, tulis menulis _Sindhunata_

Untuk menyebut beberapa wartawan dari masa ke masa ada Rosihan Anwar, Mahbub Junaidi, Bondan Prakoso, dan Sindhunata. Tulisan ini berfokus pada Sindhunata dengan beberapa alasan.

Pertama, profesi wartawan yang di emban Sindhunata penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan ini dapat dilihat pada tulisan-tulisan featurenya yang kemudian dibukukan berjudul "Ekonomi Kerbau Bingung" terbitan Kompas bertahun 2006.

Kedua, Koran Kompas dimana dulu tempat Sindhunata bekerja dengan mottonya "Amanat Hati Nurani Rakyat" masihkah bersetia dengan itu ataukah tidak.

Ketiga, prinsip wartawan yang dengan kode etik jurnalistik meluntur di tengah godaan uang, keberpihakan kepada orang-orang yang berpolitik, pemodal besar dan sensasi berita.

Istilahnya idealisme wartawan tergadai di tangan pemberi berita bukan lagi menyuarakan keobjektifan bagi pembaca sehingga pembaca tercerahkan dan tumbuhkan sikap kritis.

Kota Batu, Jawa Timur tempat Dr. Gabriel Possenti Sidhunta, SJ lahir. Tanggalnya 12 Mei 1952. Pernah menempuh pendidikan di Seminarium Marianum, Lawang, Malang tahun 1970. Berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta dan selesai tahun 1980.

Dilanjutkan ke Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarat dan tamat tahun 1983. Dari tahun 1986 sampai 1992 melanjutkan kuliah doktoral filsafat di Hochshule fur Philosophie, Philosophische Fakultas SJ Munchen, Jerman.

Karir jurnalistik Sindhunata sebagai wartawan bermula di Majalah Teruna, terbitan PN Balai Pustaka, Jakarta dari tahun 1974 sampai 1977. Bergelut sebagai wartawan di Harian Kompas mulai tahun 1978. Di sini Sindhunata dikenal sebagai penulis feature dan kolumnis sepakbola dunia.

Sindhunata satu diantara penulis feature andal di Indonesia. Jalur tulisan feature yang dipilih Sindhunata, mengangkat kisah permenungan mengenai kemanusiaan. Ratusan feature yang dituliskannya di Harian Kompas sejak bergabung di tahun 1978 jadi bukti sehingga ada yang berpandangan bahwa Sindhunata memiliki kekhususan penulis feature humanis.

Gaya feature yang memikat dan mendalam Sindhunata mampu menggugah para pembaca untuk menaruh empati dan simpati terhadap orang-orang yang terpuruk, tertinggal dan terpinggirkan dalam masyarakat bahkan tentang penderitaan rakyat kecil yang dituliskannya menyebabkan beberapa pembaca Kompas tergerak hati dan tangan untuk langsung memberikan bantuan.

Terhadap pilihan di jalan featured humanis, Sindhunata mengatakan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya harus berani menentukan pilihan  berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam Bab Lima buku ini, Si Buntung Pulang Kampung, Sindhunata membuktikan bahwa pilihan terhadap prinsip tersebut bukan hanya pada sebatas reportase dalam surat kabar, tetapi sungguh dilakoni dalam keseharian. (Sindhunata, 2006: viii).

Ketika membantu Arjo memperoleh hak-haknya sebagai korban kecelakaan lalu lintas dengan menuliskannya kejadiannya di Kompas dan kemudian mendatangi kantor polisi setempat untuk mengusut tuntas dan setelah Arjo menerimana santunan bahkan bantuan dari pembaca Koran Kompas, Sindhunata hanya meminta agar dirinya diakui Arjo sebagai anggota keluarga tanpa sama sekali memperkenalkan sebagai wartawan "Dan kami sendiri berpikir menolongnya bukan sebagai wartawan, tapi sebagai saudaranya sesama manusia," tulis Sindhunata dalam featurenya (Ibid).

Kesejatian dan kebersiteguhan seorang wartawan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam mencari berita dan menyusunnya kemudian diketahui khalayak ramai sebuah kemestian.

Sisi humanis yang dapat disebut dengan "memanusiakan manusia kembali pembaca" atau menyuarakan suara-suara rakyat oleh wartawan dengan kekuatan kata-kata yang di tuliskan dan di lisankan sungguh berarti dan sangat penting di saat ini ketika godaan kepada pihak yang berkuasa, pemodal besar , sensasi berita yang click bait terasa begitu mencengkram kuat karena terkait daya hidup sebuah perusahaan dimana tempat si wartawan bekerja.

Wartawan tetaplah berjuang berberita dengan berpihak kepada si pembaca berita karena ada amanat hati nurani rakyat bukan pemesan berita bahkan tempat ia berdapur hidup sekalipun. Mampukah?    

JR

Curup

30.05.2019.

Ditulis untuk kompasiana.com

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun