Pun sastra mampu dengan kekuatan kata-katanya merubuhkan rezim berkuasa yang menindas dan menyengsarakan manusia.
Sastra dan Orde Baru
Keruntuhan Orde Baru yang kemudian memunculkan era reformasi, sastra pun mengambil peran.
Sastra menjadi perlawanan kepada gaya kepemimpinan Soeharto yang otoriter, terpusat dan menghilangkan jiwa-jiwa orang yang kritis.
Bersuara kritis di bidang politik maka pencekalan terjadi. Mempertanyakan konsep ekonomi Orde Baru berkiblat pada Rostow yaitu Indonesia tinggal landas dengan rencana pembangunan lima tahun tahap I sampai V maka bersiaplah aparat akan menjemput di malam hari.
Ketika ke kritisan di bungkam dalam berbagai bidang maka sastra muncul dan melawan.
Sastra pamflet W.S. Rendra yang mengkritisi dan membongkar borok slogan "pembangunan"" menghujam tepat ke ulu jantung kuasa Orde Baru yang juga berujung pencekalan baca puisi kepada Rendra.
 Tapi orang-orang yang mendengarkan kritik dan borok Orde Baru lewat sastra pamflet Rendra mengetahui ada sesuatu yang salah pada cara dan bagaimana Soeharto memimpin. Kata-kata tajam bak pedang yang menebas.
Lama kelamaan benih pemberontakan dan perlawanan itu muncul karena kata-kata yang di tembakkan para sastrawan kepada rakyat kenai hati mereka dan benar adanya. Bahwa Orde Baru menindas rakyat di berbagai sendi kehidupan.Â
Dan juga ada 'kemesraan jahat' antara penguasa Orde Baru dengan pengusaha kera putih yang mengeruk kekayaan alam, 'membunuh' jutaan rakyatnya sendiri dengan kelaparan lewat perusahaan-perusahaan yang beroperasi tanpa keadilan upah dan bermanfaat bagi sekitarnya.
Struktur dan sistem kekuasaan yang lalim dan menindas rakyat di dedah berbingkai kata-kata. Ke kritisan menumpuk di pikiran rakyat yang dikibuli.