Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tamu Intelektual

20 April 2019   11:22 Diperbarui: 20 April 2019   11:52 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setiap hari selalu ada tamu yang bertandang ke rumah. Biasanya Bapak melayani cerita yang dibawa sang tamu dengan tatap mata membulat, senyum disertai kerut kening, dan jawaban yang buat tamu tak berkutik.

Bapak memiliki kemampuan menerka apa tujuan tamu berkunjung. Ilmu terkaologi diperoleh Bapak karena dulu pernah aktif di beberapa lembaga-lembaga pendampingan masyarakat miskin dan tertinggal, mitigasi bencana.

Juga ilmu terkaologi diberi seorang teman ketika aktif di lembaga-lembaga itu. Nama teman ini Barkopologi.

Ketika tamu-tamu datang. Ibu di dapur membuat kopi atau teh sesuai permintaan Bapak setelah bertanya kepada sang tamu, "minum teh atau kopi?"

Setelah itu Ibu ke ruang tamu membawa secangkir kopi atau teh beralas piring kecil dan beberapa makanan kecil pendamping bagi tamu dan Bapak.

Kalau Ibu sedang tidak di rumah maka kami lah-sang anak-yang diminta tolong Bapak untuk membuat kopi atau teh bagi tamu yang bertandang. Bahkan ketika Ibu dan kami tak berada di rumah, Bapak sendirilah yang buat kopi atau teh tamu.

Jam sepuluh malam. Ibu dan kami terlelap di kamar dan tempat tidur masing-masing di dingin cuaca sehabis hujan setelah nonton tv, bercerita dan tertawa bersama.

Bapak setelah setelah baca buku, merokok dan lihat kangkung hidroponik maka Bapak menulis tuk di kirim ke Kompasiana.com. Kecendrungan tulisan Bapak ke humaniora. Jam 1 malam Bapak tidur.

Seperti pada malam itu. Tamu yang datang jam sebelas malam. Kala malam gulita, hujan lebat, petir menggelegar, Tamu kali ini tak biasa.

Tak biasa dari jam bertamu. Tak biasa dari orangnya, cara berpakaian dan kata-kata yang diucapkan kepada Bapak. Tamu ini pejabat penting di kampus yang ada di kota kami. Setelah ngobrol dua puluh menit Bapak ke dapur membuatkan sang tamu kopi.

Bapak menamainya tamu intelektual. Tentang penamaan tamu ini memang sudah kebiasaan Bapak. Berdasarkan keperluan tamu, ciri-ciri, latar belakang pendidikan dan pergaulan sosial tapi Bapak bukan rasis.

Tamu intelektual ini bercerita permasalahan kampus tempat ia mengabdi.

Ia bercerita kepada Bapak tentang tridharma perguruan tinggi, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang timpang.

Pengajaran dosen yang bolong-bolong, menepikan jiwa pendidik, setelah mengajar kuliah lalu pulang. Sehingga tak lekat dekat dengan mahasiswa. Tipe ini ia sebut dengan dosen kuliah pulang (doku).

Penelitian yang bermotif tuk kenaikan pangkat dan materi. Judul dan masalah yang diteliti jauh dari persoalan keseharian masyarakat sehingga tak bermanfaat. Bahasa yang rumit dan susah dimengerti agar dianggap ilmiah.

Pengabdian masyarakat dengan program studi yang ada tak nyambung. Miskin inovasi. Padahal beberapa program studi bisa connect ke sekolah-sekolah atau desa-desa. Istilahnya pengabdian masyarakat berbasis sekolah atau desa.

Semakin larut malam, tamu intelektual semakin semangat bercerita kepada Bapak segala persoalan kampus. Bak beratus-ratus muntahan peluru senjata AK 47 membombardir target sampai hancur remuk.

Bapak hanya menjawab singkat, "Bapak kan pejabat kampus dan kekuasaan di tangan. Kenapa tidak bisa berbuat apa-apa. Aneh" 

Di sambung lagi oleh Bapak, "Bapak pejabat, umpama punya pistol ditangan dengan banyak peluru tapi bingung mau ditembakkan kemana. Bukankah Bapak dulu berkeinginan menjadi pejabat dan telah buat segudang konsep. Setelah terpilih tak tahu mau apa."

Tamu intelektual lemas tertunduk dengar jawaban Bapak. Wajahnya kuyu dan berkerut kening 50 kali kerutan.

Tamu intelektual selesai bertamu ketika bulan malam berganti matahari pagi. Tapi di atas kepalanya, awan mendung masih menggayuti. Dan awan pagi bergambar rupiah memayungi kampus dimana ia mengabdi.    

Tiga hari sesudahnya Bapak berkisah kepada ku tentang tamu intelektual yang datang jam sebelas malam.  Di sore hari sambil duduk santai berkawan kopi hitam dan memperhatikan kangkung hidroponik di beranda depan rumah.    

JR
Curup. 

20.04.2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun