Kakek Hatta, Datuak Syaikh Abdurrahman bergelar Syaikh Nan Tuo, adalah seorang guru agama terkenal dan seorang pejalan cinta menuju Allah (tarekat). Batuhampar dicita-citakannya menjadi benteng pertahanan fisik bila penjajah mendesak ke pinggiran Minangkabau dan juga pertahanan ruhani untuk umat Islam yang berada di kawasan tersebut.
Ayah Gaek Arsyad (kakak kandung Ayah Hatta dan pengganti Syaikh Batuhampar setelah wafatnya) yang menanamkan nilai-nilai agama kepada Atta (panggilan akrab Hatta semasa kecil) karena sang Ayah Haji Muhammad Djamil wafat ketika Atta berusia delapan bulan. Sedangkan dari pihak Ibu merupakan saudagar (pengusaha) yang sukses.
Kedisiplinan waktu dan kegiatan Hatta yang dikagumi orang-orang juga diperoleh dari Ayah Gaek. Atta kecil besar di Surau Inyik Djambek yang jaraknya kira-kira setengah kilometre dari rumhanya. Surau kala itu bukan hanya sekedar tempat tidur di malam hari tapi juga belajar ilmu agama, dan pencak silat.
Tentang surau ini punya kisah yang membentuk karakter M. Hatta. Dulu, Inyik Djambek adalah seorang keturunan bangsawan kaya raya. Namanya Djamil Djambek. Sejak kecil hidupnya bersenang-senang saja. Dia seorang parewa (preman versi dulu yang sering main adu ayam, main koa tapi memiliki kekuatan dalam bersilat) dan pemakan masak mentah (tak tahu mana halal dan mana haram). Tak kenal agama dan aturan adat.
Di usia dua puluh dua tahun hidup Djamil Djambek berubah drastis ketika ia mulai belajar mengaji dan shalat. Selanjutnya Inyik Djambek oleh sang Ayah diajak belajar ke Mekkah yang pada masa itu merupakan pusat ilmu pengetahuan agama Islam. Inyik Djambek belajar kepada beberapa ulama ternama seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, H. Abdullah Ahmad dan Syaikh Taher Jalaluddin. Ketiga ulama ternama itu berasal dari Indonesia.
Inyiak Djambek juga penulis dan dimuat di majalah Al-Munir. Ahli ilmu perbintangan (falak). Pernah juga mendirikan organisasi Tsamaratul Ikhwan yang menerbitkan kitab-kitab kecil dan brosur-brosur tentang pelajaran agama Islam tanpa bermaksud mencari keuntungan dan sangat memberikan dorongan pada terjadinya pembaharuan di Minangkabau dengan membantu organisasi-organisasi pembaharu tersebut.
Di surau kala Hatta mengaji beberapa orang temannya menertawakan karena alunan yang tak pas. Inyik Djambek menyemangati Hatta dengan berujar, "Jangan takut, teruslah berlatih. Indak ado gunuang nan tinggi nan indak dapek didaki, indak ado lurah nan dalam nan indak dapek dituruni." (Tidak ada gunung yang tinggi yang tak dapat di didaki, tidak ada lembah yang dalam yang tidak dapat dituruni). (Sergius Sutanto, 2013: 50).Â
Pendidikan agama yang Ayah Gaek selalu tanamkan terkait pituah-pituah (nasehat) agama ke Hatta kecil bahwa melakukan sesuatunya karena Allah, bersiteguh pada tali kebenaran dan tak boleh takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah, haramkan mengutamakan ambil keuntungan pribadi berbentuk apa pun ketika mengerjakan sesuatu.
Inilah yang jadi pegangan bagi Hatta dalam dunia pergerakan baik pergerakan pemuda, rakyat dan politik. Tidak pernah beliau masuk ke dalam suatu pergerakan secara main-main. Setiap pergerakan yang diikuti diberikannya sepenuh-penuh tenaga dan minatnya kepada tujuan dan landasan pergerakan tersebut. Karena itulah Hatta dan Soekarno bersimpang jalan di era Demokrasi Terpimpin ketika 'dipaksakan' oleh Presiden Sokearno.
Bahkan gabungan jiwa ulama dari pihak Ayah dan jiwa saudagar dari pihak Ibu yang berpadu padan dalam jiwa Hatta membentuk karakternya yang beriman teguh dalam menghadapi masa sulit penuh cobaan di masa penjajahan ketika dibuang ke beberapa tempat sekaligus bagaimana Hatta berminat kepada ilmu ekonomi karena bahwa rencana kemakmuran rakyat di masa datang mesti berdasar teori yang dipikir dengan matang dan ketika dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat.