Peradaban baca tulis meluruh di tangan-tangan orang yang bicaranya dangkal dan tidak mendalam. Sebuah pertanyaan yang timbul adalah, akankah peradaban baca tulis meredup dan digantikan budaya instan bermodal jempol? Kemalasan membaca dan menulis memunculkan orang-orang yang berbuat anarkis karena nalar kritisnya mampat.
Manusia Indonesia dengan kondisi geografis dan iklimnya adalah sesuatu yang sangat unggul. Sejatinya, keunggulan ini kemudian menciptakan manusia-manusia yang memiliki daya tanggap dan ekspresi yang sesuai.
Manusia dibentuk oleh dua hal, pertama ide dan kedua kebudayaan. Dua hal ini kemudian membentuk sistim. Di sinilah menarik apa yang dituliskan oleh Ibnu Khaldun, "Bahwa kebudayaan merupakan suatu gejala kemanusiaan. Kebudayaan mengacu kepada masyarakat. Ia terbentuk sebagai hasil kecendrungan alamiah makhluk manusia (the natural disposition of human beings)....."(Dawam Rahardjo (ed), 1987: 159).
Lebih jauh lagi kebudayaan tidak terhenti sampai masa sekarang ketika ia dimaknai sebagai kreasi manusia yang memiliki dimensi kesejarahan. Bukankah budaya baca tulis manusia juga adalah kebudayaan manusia.
Jika ini jalan ditempat maka kebudayaan tersebut akan mati suri diganti dengan tindakan-tindakan kebudayaan yang tak lagi menghargai pemikiran sebagai awal mula bagi terjadinya perubahan pola pikir untuk terlaksananya perubahan pola prilaku. Â
Kebudayaan yang oleh sebahagian orang dimaknai dengan "cipta karsa oleh manusia" kemudian melupakan proses berpikir dan membangun ulang hasil dari membaca dan menulis.Â
Maka, menarik apa yang dituliskan oleh Ibnu Khaldun (ibid), jika ingin meminjam konsep umran-nya, bahwa bagan untuk tumbuhnya kembali budaya atau peradaban baca tulis untuk terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas maka elemennya antara lain adalah:
Pertama, kondisi psikologis, setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki perbedaan karakter, yang mesti dikondisikan adalah kondisi psikologis manusia Indonesia bahwa maju mundurnya peradaban suatu bangsa ditentukan oleh psikologis yang matang dan ia salah satunya dibentuk oleh budaya baca tulis.
Kedua, teknologi. Masyarakat Indonesia lemah dalam tradisi baca tulis, tiba-tiba kebanjiran budaya menonton televisi, budaya nonton dan gosip. Teknologi sejatinya tak hanya dipahami dengan peralatan elektronik canggih yang dimiliki kemudian ditonton tanpa adanya makna yang diambil. Â
Ketiga, ekonomi. Buku yang dijual di toko buku untuk buku-buku yang berkualitas kadang dirasa sangatlah mahal, belum lagi distribusi yang tidak merata.Â