Ketika aksara ternyata memendam kuasa. Kenapa kita biarkan ia berkelana? (M.Musthafa)
Ku mulai hidupku sebagaimana aku akan mengakhirinya dengan sebuah kepastian: di kerumunan buku-buku (Jean-Paul Sastre)
Saya pernah bertanya kepada seorang teman, dengan apa peradaban dibangun oleh manusia. Pun, dengan apa pula peradaban diruntuhkan manusia. Ia terdiam berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Hakikat peradaban sejatinya menciptakan manusia-manusia yang unggul, yang mana keunggulannya berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh."
Keunggulan itu dapat dilihat dari aspek apa saja namun yang mulai dilupakan adalah dari mana keunggulan tersebut bersumber, dan salah satu keunggulan yang mulai dilupakan saat sekarang ini adalah budaya baca tulis, sambungnya.
Bukankah peradaban manusia terbangun karena adanya kontribusi dari budaya baca tulis. Tokoh pendiri bangsa Indonesia adalah tokoh-tokoh yang intelektual, pembaca sekaligus penulis yang produktif. Oleh masyarakat, gagasan mereka terabadikan dan dijadikan inspirasi. Namun saat sekarang ini, kita adalah bangsa yang besar tapi miskin budaya baca tulis.
Baca tulis merupakan lambang untuk tercipta dan terbangunnya peradaban manusia yang gemilang. Ide yang dimiliki oleh manusia untuk diketahui oleh masyarakat tidak selalu si empunya, ide berkoar-koar ke sana ke mari, ia juga perlu ditulis agar dibaca dalam bentuk buku, majalah, koran, brosur, pamflet dan lain sebagainya yang kemudian memantik perubahan.Â
Sayangnya, orang saat sekarang ini lebih menyenangi budaya instan dan lisan daripada baca tulis. Budaya baca tulis kemudian tenggelam dan kalah bersaing dengan teknologi yang merupakan ujung dari ilmu pengetahuan yang menciptakan kemudahan-kemudahan untuk manusia bertindak. Teknologi berwajah dua, di satu sisi beri kemudahan dan rahmat, namun di sisi lain timbulkan kemalasan.
Efek samping teknologi pun mempermudah segala batas dan tidak ada lagi sekat, tidak ada perbedaan ruang dan waktu, sesuatu menjadi mungkin untuk dilakukan.Â
Informasi dengan begitu cepat dan mudahnya untuk diperoleh maka ruang publik sangat terbuka untuk berseliwerannya wacana apa saja. Sayangnya wacana kemudian dimaknai dengan perdebatan lisan bukan tulisan.
Muncullah orang-orang yang berbicara apa saja seputar persoalan apa saja dengan sembarangan saja, yang terjadi adalah pendangkalan makna dan simbolisasi, terpinggirkannya substansi masalah, muncul anarkis lisan dan tindakan karena informasi yang disampaikan tak utuh.