Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sastra untuk Masyarakat

8 Maret 2019   09:12 Diperbarui: 9 Maret 2019   17:41 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastra dan Masyarakat

Dua kutub yang selalu menjadi perdebatan dalam kesastraan adalah sastra untuk sastrakah atau sastra untuk masyarakat? Munculnya perdebatan di atas dipicu oleh bahwa sesuatu hal dilakukan mesti mesti ada kegunaannya. Di samping sastra juga dilihat dari aspek kesempurnaan dan keindahannya.

Sastra dalam proses penciptaannya adalah kerja individu yang sublim tapi kemudian ia muncul di tengah keriuhan hidup masyarakat. Dengan pemaknaan, kerja individu tapi berdampak sosial. 

Berkesastraan adalah tindak kebudayaan yang penuh dengan kesadaran dan meliputi kedirian si pengarang, ia bebas untuk menuliskan apa saja tapi kebebasannya dibatasi oleh diri yang memiliki ukuran ditentukan dari agama, adat dan masyarakat. Di sini, aspek kesosialan si pengarang yang dilihat. Sejauh mana keterlibatan unsur-unsur sosial dalam proses kepengarangannya.

Sastra dan masyarakat bagaikan mata uang yang memiliki dua sisi tak dapat dipisah masing-masingnya. Ketika dipisahkan, maka uang tersebut tak bernilai walau sebesar apapun jumlah nominalnya. 

Suara sastra adalah suara rakyat, suara rakyat (baca: kegelisahan, protes) dapat dijadikan inspirasi untuk menciptakan karya sastra. Imajinasi bukanlah satu-satunya syarat mutlak untuk terjadinya kreatifitas dalam bersastra.

Ada hal lain yang perlu dilihat yaitu penyuaraan kegelisahan atas keadaan disekitar. Artinya, proses kreativitas bersastra yang terhubung dengan realitas sosial apapun bentuknya. Itulah kenapa karya sastra  A.A. Navis "Robohnya Surau Kami", kemudian karya sastra Hamka "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk" setelah kematiannya kini pun masih dibicarakan orang atau "Ronggeng Dukuh Paruk" dan "Orang-Orang Proyek" karya sastra Ahmad Tohari pada saat sekarang hal itu masih terjadi.

Novel "Robohnya Surau Kami" merupakan kritik A.A. Navis kepada golongan ulama tua dan tarekat yang cenderung dogmatis dan dipenuhi takhayul. Tak ada kritik di kalangan mereka yang dipandang Navis sebagai sebab tak majunya umat Islam masa itu. 

Mereka sibuk dalam zikir tetapi kepedulian sosialnya majal. Lain hal di luar ibadah mereka pandang sebagai kegiatan duniawi belaka yang tak perlu dikejar karena tak berkait dengan akhirat.

Sedangkan karya Hamka "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk"merupakan gugatan ketika seseorang dilihat berdasar suku/nasab dan "Ronggeng Dukuh Paruk" dan "Orang-Orang Proyek" karya Ahmad Tohari memotret pernak-pernik kehidupan masyarakat bawah yang ditindas kuasa feodal dan kehidupan orang-orang proyek dengan segala keculasannya.

Memaknai (kembali) Sastra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun