Berpolitik di Ruang Publik: Rasionalitas dan Moralitas
Manusia, sebagai seorang individu tidak bertindak atau berkehendak secara abstrak, tetapi selalu dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari dirinya.Â
Artinya, aspirasi rakyat yang terdiri atas individu-individu manusia tidak muncul dalam kekosongan kehendak dan  perlu ditindaklanjuti. Ia muncul dari kehendak yang dilatari oleh kondisi sosial, keagamaan, ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, keamanan, pendidikan yang sedang dan akan terjadi. Kondisi-kondisi tersebut tak dapat dilepaskan dari diri manusia/rakyat yang kemudian karena ia tak memiliki suatu wadah bersama yang kokoh dan berlandaskan hukum maka ia diwakilkan kepada partai politik dan politisi. Perwakilan ini menghendaki tindakan nyata dari partai politik dan para politisi.
Politik adalah ruang publik dimana bertemunya rasionalitas dan moralitas tanpa mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Meminjam Jurgen Habermas (Dony Gahral Adian, 2011: 110), konsep ruang publik sebenarnya terdiri dari dua hal sekaligus, yaitu ide dan ideologi.Â
Ruang publik adalah ruang tempat subjek berpartisipasi secara setara dalam diskusi rasional guna meraih kebenaran dan kebaikan bersama. Ruang publik sebagai ide menunjukkan dimensi keterbukaan, inklusifisme, kesetaraan dan kebebasan yang tidak tercela. Namun, dalam kenyataanya, itu hanya ideologi atau ilusi. Sebab, partisipasi dalam ruang publik hanya terjadi di universitas-universitas, jurnal-jurnal, diskusi-diskusi.
Rasionalitas dalam perpolitikan cenderung terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh legislatif yang merupakan perpanjangan dari partai politik dan eksekutif jarang memihak rakyat. Â Kebijakan-kebijakan yang dibuat mengandung kepentingan-kepentingan tertentu. Rasionalitas politisi dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang menyengsarakan rakyat.Â
Bangunan politik indonesia adalah irrasional. Â Sedangkan politik terhubung dengan moral seperti istilah politisi moral bukan moralitas politik yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant (Rachmat K. Dwi Susilo, 2005: 115). Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik, sehingga mereka dapat hidup dengan moralitas ketika berpolitik.
Mereka tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pengejaran kekuasaan semata. Politisi moral bermaksud menegakkan keadilan dan moral, karenanya memiliki kepentingan untuk memajukan umat manusia.Â
Mereka terjun ke akal budi praktis dengan turut mempercepat perkembangan masyarakat yang progresif dan alamiah. Sedangkan moralitas politik adalah orang-orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kepentingannya. Tentunya moralitas politik adalah lawan dari politisi moral. Jika politisi moral mampu menemukan bagaimana seharusnya berbuat lewat alam nomena a priori, tetapi moralitas politik lebih mengejar keinginan pribadi dengan kemampuan indriawi yang cenderung kepada pengalaman dan kejahatan. Â Â Â Â
Terjadinya politik sebagai hubungan kemanusiaan jika partai politik dan politisi melihat ruang publik (baca: aspirasi rakyat) dikejewantahkan dalam berpolitik yang rasional dan pemenuhan moralitas. Sehingga produk kebijakan yang dibuat benar-benar berpijak dari aspirasi rakyat dan hasilnya membuat rakyat sejahtera lahir dan batin. Sesuailah ia berpolitik yang diinginkan publik. Â
Curup