Mohon tunggu...
Fakhraen Fasya
Fakhraen Fasya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota - UNIVERSITAS JEMBER

Seorang mahaswa dengan antusiasme ilmu perencanaan. Mendalami ilmu analisa spasial berbasis GIS.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urban Growth Boundaries (UGB), Solusi terhadap Urban Sprawl, Namun Kelangkaan atas Lahan

21 September 2022   22:40 Diperbarui: 21 September 2022   22:43 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urban sprawl, disebut juga sebagai sprawl atau suburban sprawl, perluasan cepat dari luas geografis kota dan kota, sering ditandai dengan perumahan dengan kepadatan rendah, zonasi sekali pakai, dan peningkatan ketergantungan pada kendaraan pribadi untuk transportasi. Urban sprawl sebagian disebabkan oleh kebutuhan untuk mengakomodasi populasi perkotaan yang meningkat. Namun, di banyak wilayah metropolitan, hal itu terjadi karena keinginan untuk menambah ruang hidup dan fasilitas hunian lainnya. Pemekaran kota telah berkorelasi dengan peningkatan penggunaan energi, polusi, dan kemacetan lalu lintas dan penurunan kekhasan dan kekompakan masyarakat. Selain itu, dengan meningkatnya "jejak" fisik dan lingkungan kawasan metropolitan, fenomena tersebut menyebabkan rusaknya habitat satwa liar dan terfragmentasinya kawasan alam yang tersisa.

Pada beberapa studi literatur fenomena urban sprawl ini dianggap sebagai masalah alamiah yang tak terhindarkan seiring pertumbuhan laju penduduk, dampak urbanisasi ibu kota dan industrialisasi. Dikarenakan populasi yang semakin bertambah seiring waktu dapat menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang di daerah perkotaan sehingga mendorong terjadinya perkembangan daerah ke pinggiran kota. 

Pada tahun 2010, total area yang ditutupi oleh semua semen, aspal, tanah liat yang dipadatkan, area taman dan ruang terbuka yang terdiri dari jejak pemukiman perkotaan dunia adalah sekitar 1 juta km2. Jika fenomena urban sprawl ini tidak dilakukan pengendalian maka permukaan bumi akan tertutup dengan pemukiman perkotaan akan meningkat menjadi lebih dari 3 juta km2 pada tahun 2050. Dengan kata lain konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian akan semakin meningkat akibat Urbanisasi.

Negara Portlandia memiliki kebijakan yang disebut Urban Growth Boundaries (UGB) yang digunakan untuk mencegah terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali. Kebijakan UGB ini disahkan semenjak tahun 1978 yang mencakup 24 kota dan bagian perkotaan dari tiga kabupaten. Kebijakan UGB ini dirancang untuk melindungi lahan pertanian, memperlambat penyebaran, dan mendorong kepadatan perkotaan, dengan mengelilingi Portland dan pinggiran kota utamanya dengan cincin pelestarian zona pertanian. Sederhananya, kebijakan UGB berfungsi untuk menandai pemisahan lahan perkotaan dan pedesaan.

Pada tahun awal diberlakukannya kebijakan UGB benar-benar hanya berfungsi untuk menampung pembangunan yang luas karena didalamnya masih terdapat lahan yang dapat dikembangkan untuk mengakomodasi permintaan pembangunan dengan kepadatan rendah.

Namun, dalam berjalannya waktu sejak Portland mengadopsi Urban Growth Boundaries (UGB), ada banyak kritik dan masukan yang ditujukan pada kebijakan ini. Karena kawasan terluar yang menjadi perbatasan antara wilayah perkotaan dan lahan persawahan terdapat kenaikan harga lahan dan harga permukiman yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan oleh urbanisasi yang terus berkembang menciptakan permintaan akan lahan terus meningkat dan mendorong pembangunan hingga ke titik-titik terjauh dari wilayah UGB.

Sehingga kebijakan ini akan dilakukan peninjauan ulang setiap 5-7 tahun sekali dan akan dilakukan perluasan batas perkotaan setiap 20 tahun sekali. Keputusan lahan mana yang akan dimasukkan dalam perluasan UGB ditentukan menurut prioritas yang ditetapkan oleh undang-undang negara bagian (Metro, 2002). Lahan dengan prioritas lebih tinggi termasuk lahan yang ditetapkan sebagai cagar kota, dan 'lahan pengecualian', yaitu lahan yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian atau hutan. Lahan dengan prioritas lebih rendah dapat berupa lahan non-sumber daya yang memungkinkan pengembangan perumahan.

Disinilah letak permasalahanya. Menurut data dari modernfarmer.com ketika batas perkotaan ditarik pada tahun 1979, harga rumah rata-rata di Portlandia berada di sekitar rata-rata nasional $63.000, namun antara pada tahun 1990 dan 2000, harga rumah rata-rata di Portlandia naik dua kali lipat, dan terus meningkat hingga $358.000, 90% di atas rata-rata nasional.

 Lalu apakah kebijakan UGB ini memang solusi yang tepat untuk mengurangi urban sprawl?

Kebijakan UGB tentunya efektif untuk menekan urban sprawl, namun ketersediaan lahan untuk non-pertanian yang terbatas mengakibatkan kenaikan lahan. Hal ini membuat masyarakat Portlandia yang tidak mampu membeli lahan ataupun permukiman didalam daerah perkotaan akan cenderung memilih untuk tidak tinggal di wilayah perkotaan apalagi pada wilayah perbatasan. Akibatnya, masyarakat akan memilih menjadi penglaju, yaitu orang yang tinggal dan bekerja di kota yang berbeda. Biaya transportasi akan membengkak. Urban sprawl juga tidak diberhentikan namun berpindah ke daerah sekitarnya.

Persebaran nilai lahan tidak akan berbuntuk sentralitas karena ada kemungkinan nilai lahan di sisi-sisi terluar meningkat. Hal ini dikarenakan lokasinya yang memiliki pemandangan serta suasana tentram perdesaan namun tinggal di permukiman dengan kualitas perkotaan. pemandangan dan suasana tersebut pun dapat dikatakan hampir permanen. Lokasi yang cocok untuk membangun rumah mewah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun