Mohon tunggu...
Fakhma Uddia
Fakhma Uddia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Semester 1 UIN Sunan Ampel Surabaya

Hobi saat ini adalah membaca dan belajar melalui media sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Federalisasi dalam Mengelola Keberagaman Etnis: Studi Kasus Negara Malaysia (1957-2023)

13 Oktober 2024   20:00 Diperbarui: 13 Oktober 2024   20:15 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH SINGKAT

Malaysia memiliki sejarah yang sangat panjang pada masa lampau. Mulai dari kedatangan para koloni Iggris ke Malaysia tepatnya di Semenanjung Malaya pada tahun 1786 dengan tujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah terutama timah dan karet. Sampai tahun 1946 dibentuklah Uni Malaya oleh Inggris dan diganti menjadi Federasi Malaya pada tahun  1948 yang menggabungkan 9 negara bagian Melayu dan 2 koloni selat (Penang dan Malaka). Hal inilah yang merupakan langkah awal menuju struktur federal. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Federasi Malaya mendeklarasikan kemerdekaanya di Stadion Merdeka, Kuala Lumpur dengan Tunku Abdul Rahman menjadi perdana menteri pertama. Sejak hari itu para penduduk di sana mulai merayakan tanggal 31 Agustus sebagai hari  kemerdekaan atau hari Malaysia. Pada tanggal 36 September  1963 Federasi Malaya secara resmi dibentuk menjadi Malaysia hingga sekarang seperti yang kita ketahui. Setelah perjalanan panjangnya Malaysia terus berkembang sebagai negara federal dengan 13 negara bagian dan 3 wilayah federal. Tujuan dari pembentukan Malaysia sebagai negara federal tak luput dari upaya yang dilakukan untuk menyatukan berbagai wilayah dan keberagaman etnis dalam satu kekuasaan politik.

KEBERAGAMAN ETNIS

Diliput dari Departmen of Statystic Malaysia(DOSM) kini populasi yang hidup pada tahun 2024 berjumlah sekitar 34,1 juta orang. Penduduk Malaysia terdiri dari etnis melayu, penduduk asli sabah dan sarawak, tionghoa, india dan lain-lain. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, sistem federal Malaysia telah berhasil menjaga stabilitas politik dan sosial dalam konteks keberagaman etnis melalui beberapa kelonggaran kebijakan dan pembagian kekuasaan yang efektif, namun masih juga diperlukan beberapa perubahan untuk mengatasi sengketa permasalahan yang ada.

KEBERHASILAN STABILITAS POLITIK

Struktur federal di Malaysia memiliki pembagian kekuasaan antara wilayah federal dan negara bagian. Di posisi pertama terdapat pemerintahan pusat dengan Perdana Menteri yang menduduki puncak pemerintahan pusat, yang memipin kabinet dan bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan nasional. Umtuk bisa menjadi Perdana Mentri diperlukan dukungan dari majoritas Dewan Rakyat yang merupakan bagian dari parlemen. Di kedudukan terakhir terdapat sistem peradilan tinggi atau disebut dengan Mahkamah Persekutuan yang bertugas memastikan bahwa hukum berjalan dengan adil dan benar.

Di posisi kedua terdapat pemerintahan negara-negara bagian. Malaysia memiliki negara bagian dengan jumlah 13 negara bagian yang memiliki sistem pemerintahan mereka masing-masing. Setiap negara bagian memiliki Dewan Undangan Negeri yang hampir sama dengan parlemen lokal sebagai perwakilan rakyat setempat. Setiap negara bagian dipimpin oleh seorang Ketua Menteri yang merupakan anggota Dewan Undangan Negerti. Fungsi dari Ketua Mentri adalah mengurus urusan internal negara bagian dan melapor kepada Sultan atau Gubernur.

Terdapat wilayah federal yang menduduki posisi terakhir dalam struktur ini. Malaysia memiliki dua wilayah federal yang sangat penting yaitu, Kuala lumpur dan Putrajaya. Dikatakan sangat penting sebab Kuala Lumpur menjadi ibu kota negara dan Putrajaya menjadi pusat administrasi pemerintah.

Penting adanya struktur federal ini untuk membantu menjaga keseimbangan kekuasaaan antara pemerintahan pusat dan negara-negara bagian. Agar tiap daerah dapat mengatur urusan yang terjadi sesuai kebutuhan lokal daerah tersebut serta tetap menjadi bagian dari keutuhan negara Malaysia. Melalui sistem federal ini, Malaysia telah sukses melestarikan keberagaman budaya dan etnik sembari memastikan rakyatnya memiliki hak suara dalam pemerintahan mereka.

SISTEM KUOTA ETNIS DALAM PEMERINTAHAN

Pasca kemerdekaan lahirlah Pasal 153 konstitusi yang memberikan tanggung jawab kepada Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia) untuk melindungi kedudukan istimewa orang Melayu dan anak negeri (Sabah dan Sarawak) dan kepentingan sah kaum-kaum lain. Dengan adnaya pasal ini, etnis Melayu diuntungkan dalam berbagai aspek seperti, penerimaan pegawai negeri, beasiswa dan pendidikan. Akibatnya terciptalah dominasi kelompok sosial etnis Melayu dalam beberapa institusi publik.

Melalui pasal ini, pemerintah Malaysia telah menerapkan sistem kuota rasial untuk memprioritaskan keterlibatan etnis melayu. Sistem kuota rasial yang diterapkan telah dikritik karena menciptakan ketimpangan dalam proporsi etnis di Malaysia Civil Service (MCS) yang berpotensi memunculkan bias etnis dalam pengelolaan sumber daya publik. Dalam ketimpangan yang terjadi munculah gerakan anti-kerjasama Internasional Konevensional Diskriminasi Rasial  (ICERD) oleh beberapa kelompok etnis. Namun berbanding tertablik etnis Melayu sendiri bersatu untuk menolak kebiijakan tersebut mereka menamainya dengan Aksi 812. Sebab kebijakan ini dinilai rasis dan diskriminatoris. Mereka percaya bahwa kebijakan ini hanya memperburuk situasi rasial di Malaysia dan tidak memperlihatkan keberagaman etnis yang sebenarnya.

Pada tahun 1970, kebijakan afirmatif seperti New Economic Policy (NEP) dan New Development Policy (NDP) dirancang untuk menciptakan kelas bisnis bagi etnis Melayu. Namun, penerapannya telah dianggap sebagai bentuk diskriminasi rasial oleh etnis non-Melayu, seperti Cina dan India. Dengan kebijakan ini etnis Melayu mendapatkan penetapan kuota di universitas, penyisihan ekuitas perusahaan dan preferensi dalam proyek perumahan. Gagalnya integrasi nasioal ditandai dengan agenda ketuanan Melayu yang sering kali digunakan sebagai retorika politik untuk menarik suara massa dan memanaskan kembali pertikaian rasial yang telah mengakar. Meskipun konsep bangsa Malaysia yang dikemukakan oleh Mahathir Mohamad pada tahun 1970-an berusaha untuk mewujudkan integrasi nasional yang inklusif, namun ide ketuanan Melayu masih muncul kembali setelah peristiwa tersebut.

KESIMPULAN

Negara Malaysia atau dengan nama lain Negeri Jiran tersebut merupakan sebuah negara federal yang terdiri dari 13 negara bagian dan 3 wilayah persekutuan. Meskipun demikian Malaysia menggunakan sistem pemerintah federal yang diatur oleh sistem monarki konstitusional. Kekuasaan tertinggi berada di pemerintahan pusat yang dipegang oleh Sri Paduka Baginda Yang di-Pertoan Agung. Malaysia memiliki populasi yang multiras atau multietnik yang terdiri dari Melayu, Cina, India dan minoritas pribumi di Sabah dan Sarawak. Mayoritas etnis Melayu memeluk agama Islam dan merupakan dasar utama kebudayaan Malaysia. Meskipun terdapat non-islam toleransi antar agama dan ras sudah terjalin dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian struktur pemerintahan federal dengan sistem kepemimpinan monarki parlementer yang memiliki karakteristik budaya sosial yang unik menjadikan negara Malaysia menjadi negara yang dinamik dan inklusif bagi warga negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun