Setidaknya kurang lebih 10 tahun lalu saya pernah mendengar ungkapan
"Kalaupun dunia ini kiamat keluarga kita harus tetap bertahan"
Narasi diatas berasal dari wejangan yang sempat diutarakan oleh almarhum nenek saya. Dulu saya masih terlalu muda untuk memahami betul apa maksud dari ucapan tersebut, belum lagi bagaimana ada yang selamat dari 'kiamat'? Bukankah kiamat berarti akhir dari seluruh kehidupan?
"Kalau kamu berbakti maka ia tak akan murka yang ada justru membawa berkah"
Wejangan berlanjut dengan sebuah perintah untuk menyayangi bumi yang telah memberikan ruang dan udara untuk manusia tinggal. Sosok nenek memang dikenal sebagai pribadi yang penyayang dan memperhatikan lingkungan, hal ini ditunjukan dengan perkarangan yang luas sepertiga rumahnya dibaktikan untuk tumbuhan hijau dan tanaman hias.
Obsesi nenek saya pada tanaman hias waktu itu belum dapat saya idahkan, walaupun begitu beliau selalu berpesan untuk selalu menanam minimal 3 tanaman hias dalam polybag kepada setiap rumah milik keturunanya.
Kembali ke masa sekarang saya menjadi lebih sadar akan apa yang beliau maksudkan. Bumi yang kita tinggali ini sudah berumur mungkin bisa dibilang uzur untuk kita yang selama ini terlalu tidak peduli. Seperti seorang ibu yang membesarkan anaknya hingga menjadi pribadi dewasa dan mandiri, sudahkan kita berbakti kepada sang ibu pertiwi?
Seperti malin kundang yang membangkang pada ibunya, bumi ibu bagi kita semua juga memiliki hati yang dalam waktu ke waktu terus teriris dan tersayat dengan perlakuan kita selama ini. Menurut laporan ICC lembaga yang mengawasi perubahan iklim dunia, Pemanasan global sebesar 1.5C lebih tinggi dari suhu global era pra revolusi industri dapat mengakibatkan bencana katastropik yang menghancurkan banyak kehidupan.Â
Tidak lama setelah penemuan ICC, sebagai bentuk kepedulian akan isu global tersebut 196 pihak menandatangani kesepakatan paris untuk menjaga batas pemanas global berada dibawah level 1.5C dalam The Paris Agreement.