Indonesia memiliki banyak pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, kurang lebih terdapat 27.630 pondok pesantren yang tersebar di 34 provinsi dengan jumlah santri pada 2021 adalah 4.089.955. Di Provinsi DIY, saat ini terdapat 319 Pondok pesantren yang tersebar di 5 kabupaten dan kota dengan jumlah santri mukim sebanyak 35.211 dan santri yang tidak mukim sebanyak 14.281 (Kementerian Agama RI, 2019). Jenis pesantren di Yogyakarta sebagian besar mengharuskan santri untuk tinggal dan menetap sementara waktu di lingkungan asrama pesantren dalam periode masa belajar. Banyaknya jumlah santri yang tinggal bersama di pesantren dengan bermacam latar belakang ini, memungkinkan munculnya banyak permasalahan kesehatan (Kustiningsih et al., 2020).
Ada satu masalah yang sejak dulu menjadi momok di Pondok Pesantren, apalagi kalau bukan masalah hidup bersih dan sehat. Hal ini dibuktikan salah satunya dari penelitian menurut data yang dilakukan oleh Safitri et al. (2021), permasalahan PHBS di lingkungan pondok pesantren di Kabupaten Jember tergolong kurang baik dibuktikan dengan hasil survei yang menunjukkan masih terdapat dapur, kamar tidur dan kamar mandi yang kurang bersih, santri mengeluhkan lelah dan mudah mengantuk, kurang dalam personal hygiene terutama kebersihan rambut, telinga dan pakaian, dan perilaku santri menunjukkan kurang tertarik terhadap permasalahan PHBS di lingkungan pondok pesantren. Penelitian yang dilakukan oleh Herryanto (2004) dalam Budisuari & Pranata (2016) menunjukkan bahwa pondok pesantren masih rawan dalam hal hygiene dan sanitasi lingkungan. Hal ini terlihat dalam hal pengelolaan sampah yang belum benar, kualitas air bersih belum memadai, PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang belum maksimal di lingkungan Pesantren, serta minimnya informasi dan akses kesehatan. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, penyakit kulit masih berada di peringkat ketiga dengan jumlah 247.179 kasus.
Salah satu penyakit kulit tersebut adalah skabies. Skabies merupakan infeksi kulit yang disebabkan tungau Sarcoptes scabiei. Tungau betina mampu menggali ke dalam kulit dan bertelur, memicu respons imun yang menyebabkan rasa gatal dan ruam yang hebat (WHO, 2020). Skabies mulai dimasukkan dalam daftar penyakit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Diseases) oleh World Health Organization (WHO) sejak 2017. Dalam peta jalan yang disusun oleh WHO untuk mengakhiri angka kejadian penyakit tropis yang terabaikan pada 2030, skabies dan ectoparasites lainnya termasuk dalam daftar penyakit yang menjadi target prioritas untuk dapat dikendalikan dengan pembentukan program manajemen terpadu.
Berdasarkan Global Burden of Diseases Study 2015, Indonesia menempati peringkat pertama negara dengan beban penyakit tertinggi akibat skabies (Karimkhani et al., 2017). Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi skabies di Indonesia adalah 3.9-6%, namun bisa mencapai 84.8% di sekolah asrama di Indonesia (Menaldi et al., 2021). Skabies dianggap memiliki beban penyakit yang ringan, sehingga seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan serius oleh masyarakat maupun pemerintah. Sementara pada kenyataannya, skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan mengganggu aktivitas penting kehidupan, terutama pada siswa yang terkena pada saat bersekolah (Menaldi et al., 2021).
Sebuah studi menyebutkan bahwa prevalensi skabies di sebuah pondok pesantren di Bantul, Yogyakarta mencapai 88,46% pada santri usia 10-19 tahun yang telah tinggal menetap >1 tahun (Pradip et al., 2014). Lingkungan padat penduduk, kontak erat antar penghuni, dan perilaku hidup bersih dan sehat yang terbatas dapat menjadi risiko penularan penyakit menular di pondok pesantren (Ratnasari and Sungkar, 2014). Adanya kepercayaan dan persepsi tertentu juga mempengaruhi transmisi penyakit menular di pondok pesantren. Sebagai contoh, skabies atau yang sering disebut gudik, dianggap sebagai penyakit yang wajar diderita oleh santri apabila akan memperoleh ilmu di pondok pesantren (Rachmawaty et al., 2018).
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup santri dan penghuni pondok pesantren agar terbebas dari skabies, serta mendukung tercapainya target peta jalan WHO untuk penyakit skabies di tahun 2030, kami memandang perlunya membuat sebuah program pengabdian Kader Santri Sehat. Kader Santri Sehat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan di lingkungan pondok pesantren melalui sebuah sistem kesehatan yang melibatkan santri sebagai kader kesehatan yang merupakan perpanjangan tangan dari tenaga kesehatan baik dokter, perawat, maupun ahli gizi di lingkungan pondok pesantren. Santri dapat dikatakan sebagai Kader Santri Sehat setelah melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan bagi santri akan berbeda-beda sesuai kondisi dari pondok pesantren sesuai dengan hasil assessment yang dilakukan sebelumnya. Contohnya, apa yang saat ini sedang kami lakukan di salah satu pondok pesantren di daerah Mlangi D.I. Yogyakarta, kami telah melatih beberapa santri terkait dengan pertolongan pertama, penilaian status gizi dan kesehatan mental.
Harapannya, santri yang telah dibekali pendidikan dan pelatihan tersebut dapat menjadi agen, menjadi tangan kanan tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat untuk memberikan teladan kepada teman sebayanya sesama santri serta turut serta dalam kampanye promotif, preventif maupun kuratif tentang masalah kesehatan utamanya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di pondok pesantren agar salah satu masalah kesehatan di ponpes seperti skabies dapat berkurang.
Sumber:Â
Ahmedani, B. K. (2011). Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession.
Karimkhani, C. et al. (2017) 'The global burden of scabies: a cross-sectional analysis from the Global Burden of Disease Study 2015', The Lancet Infectious Diseases, 17(12), pp. 1247--1254. doi: 10.1016/S1473-3099(17)30483-8.
Kementerian Agama RI. (2019). Statistik Data Pondok Pesantren.
Kustiningsih, Anita, D. C. K., & Utsani, R. (2020). Pembentukan Poskestren di Pondok Tahfizd Nurani Insani Desa Balecatur Gamping Sleman, Yogyakarta. Jurnal Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat, 3(1), 365--374.
Menaldi, S. et al. (2021) 'Impact of scabies on Indonesian public boarding school students' quality of life: A mixed-method analysis', Journal of General - Procedural Dermatology & Venereology Indonesia, 5(2), pp. 74--78. doi: 10.19100/jdvi.v5i2.264.
sterholm, M. (2010) 'Beliefs: A theoretically unnecessary construct?', Proceedings of the Sixth Congress of the European Research in Mathematics Education - CERME 6, pp. 154--163. Dapat diakses di: http://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2:228948.Â
Pradip NK, Umniyati SR, Hadianto T. Kejadian Penyakit Skabies pada Pondok Pesantren Al-Fataa, Kabupaten Bantul, Yogyakarta [Internet]. Universitas Gadjah Mada; 2014. Dapat diakses di: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/79964 (Diakses pada: 30 September 2022)
Rachmawaty, F. J. et al. (2018) 'Peran Rekestren (Relawan Kesehatan Pesantren) dalam Meningkatkan Derajat Kesehatan Pondok Pesantren', Tesis., pp. 1--6.
Ratnasari, A. F. and Sungkar, S. (2014) 'Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur', eJournal Kedokteran Indonesia, 2(1). doi: 10.23886/ejki.2.3177.
Statistik Pesantren (2022) Indonesian Ministry of Religious Affairs. Dapat diakses di: https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp (Diakses pada: 30 September 2022).
WHO. Ending the neglect to attain the Sustainable Development Goals: a road map for neglected tropical diseases 2021--2030. Geneva: World Health Organization; 2020. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H