Saya benar-benar kaget ketika melihat liputan kasus kopi sianida kembali muncul di tivi. Untuk ukuran kasus pidana orang tidak terkenal macam Jessica dan Mirna, saya tak habis pikir kenapa kasus ini diberitakan besar-besaran di media dan belum selesai sampai saat ini juga.
“Kalau pelaku pembunuhannya orang miskin pasti nggak sampe selama ini pengusutan kasusnya.” Penjaga warteg ngomong ke saya yang sedang asyik makan.
“Iya, Bang, saya mikirnya juga gitu.”
“Terus, ini kan kasusnya racun tho mas... polisi juga udah menyelidiki, tapi kok pas persidangan selalu saja dibilang kurang bukti? Atau yang ini tadi, pengacaranya bilang hasil penyelidikan belum bisa memastikan bahwa Mbak Jesica adalah pelakunya… Jan-jan e ini itu polisinya yang nggak becus menyelidiki apa memang pengacaranya yang hebat berkelit sih mas?”
Sebenarnya saya hendak mengutuk penjaga warung ini, yang nggak kasihan sama saya yang lagi fokus makan. Tapi demi mendengar pertanyaan (dan pernyataan) terakhirnya, saya tergelitik dan tertarik menjawab.
“Kayaknya dua-duanya benar, Bang, polisinya nggak becus menyelidiki sama pengacaranya emang hebat berkelit.” Saya terkekeh menjawabnya, lalu masuk ke dalam pemikiran yang lebih dalam.
Awalnya saya berpikir kasus kopi sianida ini wagu. Bukan, bukan kopi sianida atau tokohnya (Jesica-Mirna) yang membuat wagu, tapi media. Kelakuan media yang memberitakan secara masif timeline kasus peracunan dengan tokoh rakyat biasa yang nggak ngefek apa-apa ini sudah terlalu wagu.
Bayangkan saja, sejak awal Januari sampai Juli ini pastinya sudah ada ribuan liputan dan berita yang terus-menerus membombardir masyarakat, kayak nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, kayak nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tivi.
Tapi setelah saya pikir-pikir, media ternyata benar, memang nggak ada hal lain yang perlu diberitakan, dan nggak ada hal lain yang perlu ditayangkan di tipi. Hal ini baru saya sadari setelah melihat tulisan Mbak Kalis Mardiasih tentang Dangdut Academy, dan saya menyadari alasan paling logis kenapa media terus-terusan memberitakan kasus Kopi Sianida ini, masyarakat mencintai kasus ini.
Penjelasan Mbak Kalis mengenai kesuksesan Dangdut Academy simpel, ketika masyarakat menengah ke bawah sudah jenuh dengan jalinan skenario kehidupan Tukang Bubur Naik Haji (Kemudian Mati dan Nggak Balik-Balik Lagi), Indosiar datang menawarkan konsep acara musik yang menarik.
Senada dengan penjelasan Mbak Kalis, saya perlu menambahi bahwa kasus pembunuhan Kopi Sianida ini pun demikian, datang menawarkan hiburan kasus yang menarik: pembuhunan kelas premium, terencana matang, dan memakai racun sianida (seperti di film-film).
Dalam hemat saya, masyarakat belum pernah disuguhi kasus semenarik ini, sebuah kasus yang benar-benar sempurna jika dimainkan dalam film aksi, pembunuhan dan detektif-detektifan. Saya lalu terpikirkan dengan detektif idola saya, yang selalu dapat menyelesaikan kasus rumit apapun dengan sangat cepat, ialah Mas Sherlock Holmes.
Saya berandai-andai jika Mas Sherlock itu nyata dan dia orang Indonesia, lalu membantu pihak kepolisian memecahkan kasus ini—yang nggak selesai-selesai. Saya membayangkan wajahnya yang seksi dan sok ini mulai melihat TKP, untuk kemudian mengambil deduksi-deduksi penjelasan masalah.
“Robekan kecil di sofa menunjukkan cara duduk Mbak Jesica yang begini, goresan di meja menunjukkan salah satu kopi memiliki berat lebih besar, jangka waktu pelayan buat kopi itu segini yang memungkinkan perubahan kondisi secara wajar di sini, ada sedikit ceceran sianida di kursi ini yang dapat dikenali dengan perubahan warna anu…..” Mas Sherlock menjelaskan deduksinya.
Dengan kelihaian Mas Sherlock dalam melihat detail kecil dan menyimpulkan sesuatu, saya yakin kasus ini akan cepat terselesaikan, dan ulasan berita yang tersaji semakin menarik saja, penyelesaian paripurna untuk sebuah kasus pembunuhan terencana. Belum lagi wajah Mas Sherlock yang akan sering nongol di berita, dan membantu polisi dalam menyelesaikan setiap kasus yang ada, mengisi kekosongan figur detektif di dalam negeri.
Anda pikir hal ini tidak mungkin terjadi? Detektif seperti itu tidak ada? Seharusnya anda yakin, karena Pak De Arthur Conan Doyle (pengarang Sherlock Holmes) nyatanya terinspirasi dari sosok nyata dr. Joseph Bell, dokter dan pengajar di University Edinburgh yang dapat mengambil kesimpulan hanya dengan sedikit observasi. Ia bahkan dapat mengetahui keluhan pasien saat mereka baru memasuki ruangan prakteknya dan belum mengeluarkan satu patah kata pun. Edann...
Tapi setelah dipikir lebih jauh, kehadiran Mas Sherlock dalam pengusutan kasus Kopi Sianida ini nggak akan banyak efeknya. Saya yakin. Kalau nggak percaya, coba perhatikan pola setiap kasus yang sudah pernah diselesaikan Mas Sherlock baik di novel, film, ataupun serial tv. Ia hanya menyelesaikan kasus itu untuk kesenangan pribadi, tak peduli mana yang benar dan salah, tak peduli pelakunya akan diadili atau tidak.
Urusan membawa tersangka ke meja hijau dan memenjarakannya, ia tak pernah ikut-ikutan, hal itu diserahkannya sepenuhnya pada kepolisian. Di sinilah kenapa keberadaannya dalam pengusutan kopi sianida nggak banyak efeknya.
Yang membuat kasus kopi sianida ini jadi lama adalah proses pengadilannya, bukan pada pengusutan kasusnya. Dan karena Mas Sherlock nggak tau apa-apa terkait proses pengadilan, keberadaannya jadi sia-sia. Salah-salah kalau dia ikut proses pengadilan dan melakukan hal keliru, dia malah bisa dilaporkan dan dipenjara.
Kasihan sekali Mas Sherlock ini...
Maka dari itu, bahkan Mas Sherlock pun tidak akan mampu menyelesaikan kasus kopi sianida ini. Lalu, siapa yang mampu?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
(Selengkapnya saya tulis di Qureta dan Blog Saya)
***
Bagaimana pendapat anda?
Yok kita diskusikan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H