Kondisi pengungsi Afghanistan yang istana kepresidenannya sudah diduduki Taliban kini sangat memprihatinkan, selama 20 tahun konflik, bahwa proses penggulingan yang berlangsung sudah banyak memakan korban jiwa, belum lagi kondisi terkini dari pengungsi yang status kewarganegaraannya tidak jelas.
Terkonfirmasi bahwa pemikiran biopolitik Giorgio Agamben sangat menjelaskan kondisi pengungsi Afghanistan sekarang. Bahwa ada kesalahan pada selangkangan tata-hukum kita, dimana status kemanusiaan disamakan dengan status kewarganegaraan. Suatu pemahaman tentang status pengungsi yang hanya dihargai haknya secara politik.
Filsafat politik Agamben juga sering disebut sebagai filsafat biopolitik, yakni filsafat politik yang berbicara tentang kehidupan. Para filsuf politik sebelumnya melihat kehidupan manusia selalu dalam konteks politik, yakni konteks adanya suatu negara, ataupun entitas politik lainnya, yang menopang kehidupan manusia tersebut. Semua itu, menurut Agamben, menjadi patah, ketika kita berhadapan dengan konsep "pengungsi".
"Pengungsi", demikian tulisnya, "haruslah dilihat sebagai apa adanya dirinya, tidak kurang dari konsep yang terbatas secara radikal. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap kategori-kategori dasar dari negara-bangsa, dari lahirnya suatu negara sampai dengan adanya warga negara," Keberadaan pengungsi yang semakin banyak di akhir abad 20 dan abad 21 membuat kita harus memikirkan ulang konsep manusia di dalam filsafat politik modern, tidak lagi sebagai manusia legal politis yang terikat pada suatu entitas politik tertentu, seperti negara, melainkan sebagai manusia yang telanjang, rapuh, tak berdaya, tak punya kewarganegaraan. Agamben mengajak kita untuk melebarkan secara radikal perlindungan hak-hak asasi manusia kepada sosok-sosok "telanjang" semacam itu.
Agamben melihat, bahwa di dalam pandangan politik modern, konsep hak-hak asasi manusia dikaitkan dengan keberadaan suatu entitas politik tertentu yang bernama negara. Artinya, yang satu hanya dapat ada, jika yang lain tetap ada dan kuat. Di dalam pemerintahan totaliter, negara ada, namun hak-hak asasi manusia diabaikan. Dalam arti ini, negara hanya tinggal menunggu waktu saja untuk roboh, entah karena revolusi, ataupun karena perang saudara. Sebaliknya, di dalam kasus-kasus terkait dengan keberadaan pengungsi, negara menjadi tiada, sehingga tidak ada satu pun entitas politik yang menjamin hak-hak asasi manusia mereka. Keterkaitan ini, yakni antara negara dan hak-hak asasi manusia, haruslah dibuat relatif, sehingga tidak menjadi ikatan yang mutlak. Artinya, bagi Agamben, lepas dari ada atau tidaknya negara yang legal, hak-hak asasi manusia seseorang haruslah memperoleh jaminan, terutama dalam situasi-situasi yang ekstrem, seperti perang, rasisme, diskriminasi, ataupun bencana alam.
Agamben lebih jauh menegaskan, bahwa konsep "pengungsi" adalah kelemahan mendasar di dalam filsafat politik modern, terutama dalam tegangan antara konsep tubuh alamiah manusia, dan konsep warga negara yang bersifat legalistik. Pertanyaan kuncinya begini, di dalam masyarakat demokratis modern, siapakah pengungsi? Apakah dia memiliki hak-hak yang dapat dijamin secara universal?
Ataukah karena ia bukan warga negara, maka hak-haknya sebagai manusia juga terbatas? Dalam arti ini, menurut Agamben, keberadaan para pengungsi di berbagai belahan dunia, akibat pecahnya perang, ataupun diskriminasi politik lainnya, memaksa kita untuk memikirkan ulang konsep kekuasaan dan hak-hak asasi manusia di dalam filsafat modern. Solusi yang ditawarkannya begini,
"Para pengungsi sesungguhnya adalah manusia dengan hak-hak, yakni penampakan sebenarnya dari hak-hak di luar fiksi tentang warga negara yang selalu menutupinya." Keberadaan pengungsi memaksa kita untuk melihat manusia dalam arti sebenarnya, bukan sebagai warga negara terhormat suatu negara, melainkan sebagai manusia telanjang yang tanpa status legal apapun, hanya tubuh dan jiwanya yang datang, tanpa kepura-puraan apapun. Garis-garis itu memisahkan orang, dan memecah masyarakat ke dalam bagian-bagian yang saling berkonflik satu sama lain. Tidak hanya itu, garis-garis buatan manusia tersebut juga menentukan hidup matinya seseorang, misalnya antara mereka yang kaya dan yang miskin, atau antara yang berpendidikan dan yang tidak.
Pada titik ini, Agamben, menurut saya, membuat argumen yang amat penting. Di dalam pembedaan antara warga negara dan bukan warga negara, kita tidak hanya bisa melihat pembedaan politis semata, tetapi juga makna biopolitik yang tersembunyi di belakangnya. "Salah satu tanda dari biopolitik modern, yang akan terus bertambah pada abad kita hidup", demikian tulisnya, "adalah kebutuhan terus menerus untuk medefinisikan ulang batas-batas di dalam hidup antara apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar." Dengan kata lain, di dalam masyarakat modern, selalu ada kebutuhan untuk menciptakan garis yang memisahkan kita dengan mereka, antara kita yang layak mendapat tempat, dan mereka yang tidak layak mendapatkannya. Garis itu beragam, mulai dari garis ras (ras mayoritas dan ras minoritas), garis agama (agama yang mayoritas dan agama minoritas), garis politik (aliran politik dominan dan aliran politik minoritas), garis ekonomi (kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah), garis pendidikan (mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi dan yang tidak), dan sebagainya.
Dapatlah dikatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak pasif. Namun tidak setiap warga negara memiliki hak-hak aktif. "Dengan demikian", tulis Agamben dengan nada agak melecehkan, "anak-anak, orang-orang gila, para remaja, perempuan, dihukum untuk menempatkan diri mereka semata pada ruang privat dengan membatasi kebebasan mereka, mereka bukanlah warga negara (dalam arti sepenuhnya, yakni memiliki hak-hak pasif dan hak-hak aktif)." Dalam konteks ini, kita bisa langsung menemukan adanya peluang untuk penindasan dan diskriminasi.
Mereka "yang lain" dari yang mayoritas, termasuk orang gila dan kelompok minoritas, amat mudah untuk mendapatkan cap "bukan warga negara", dan dengan demikian tidak mampu menjalankan hak-hak aktif mereka secara maksimal. Dalam beberapa kasus ekstrem, hak-hak pasif yang sudah selayaknya diterima sebagai manusia pun tidak juga dapat terpenuhi secara layak.
Pertanyaan kemudian yang amat perlu untuk dijawab adalah, siapa itu warga negara? Apa yang dibutuhkan, supaya orang berhak menyandang status sebagai warga negara dari suatu komunitas politis tertentu? Untuk menjawab pertanyaan ini, Agamben terlebih dahulu membedakan antara hak-hak pasif dan hak-hak aktif. Secara padat, hak-hak pasif adalah hak-hak orang yang diperolehnya, hanya semata-mata karena ia adalah manusia.
Dengan adanya hak-hak ini, keberadaan suatu masyarakat bisa dipertahankan, walaupun dalam bentuknya yang paling primitif. Sementara, hak-hak aktif adalah hak-hak orang untuk terlibat secara penuh dalam menentukan berbagai keputusan yang mempengaruhi kehidupan bersama. Setiap orang memiliki hak-hak pasif. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa memperoleh hak-hak aktif, dan menjalankannya dalam aktivitas hidupnya. Orang-orang, yang dianggap tak mampu untuk terlibat dalam kehidupan bersama, tidak mendapatkan hak-hak aktif, dan harus puas dengan hanya memiliki hak-hak pasif dalam hidupnya.
Di dalam negara-negara modern, pada satu sisi manusia harus selalu dipandang dalam tegangan antara mahluk alamiah yang telanjang tanpa atribut apapun atau disebut (bare life), dan disisi lain dipandang sebagai mahluk legal politis (political creature). Dengan kata lain, pengandaian antropologis dari negara-negara modern bukan manusia yang rasional dan bebas, seperti yang banyak dipikirkan oleh para filsuf modern, melainkan manusia yang telanjang, tanpa status dan atribut apapun, yang kemudian mendapatkan statusnya sebagai subyek hukum, dan memperoleh jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia. "Hak-hak", demikian tulis Agamben, "dapat ditempelkan pada manusia, atau muncul dari dalam dirinya, hanya sejauh manusia itu hilang dan kemudian menjadi warga negara."
Deklarasi hak-hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, dengan demikian dapat dipandang sebagai perkawinan antara otoritas metafisis tentang manusia di satu sisi dan kekuasaan politis institusi-institusi dunia di sisi lain. Keduanya dibutuhkan supaya hak-hak asasi manusia bisa dijamin. Di dalam rezim totaliter, walaupun ada pemahaman metafisis tentang manusia, hak-hak asasi manusia menjadi terabaikan. Begitu pula sebaliknya, di dalam tata politik modern, namun tidak memiliki pemahaman metafisis tentang manusia yang cukup sejalan dengan hak-hak asasi manusia, hak-hak asasi itu pun juga menjadi sulit diterapkan. Menurut Agamben, dibutuhkan "perkawinan" pemahaman dari manusia sebagai mahluk alamiah yang sudah selalu menggendong hak-hak asasi (prinsip nativitas) menjadi warga negara yang memiliki hak sekaligus kewajiban legal tertentu (prinsip politik). Inilah yang menurutnya disebut sebagai prinsip biopolitik.
Menyimak fenomena ini, Agamben mengajak kita untuk mengubah kerangka berpikir kita dalam memahami konsep hak-hak asasi manusia. "Sekarang adalah saatnya kita untuk berhenti memandang berbagai deklarasi-deklarasi tentang hak sebagai pernyataan atas yang abadi, meta tata hukum yang memiliki nilai yang mengikat para pembuat hukum (dan tidak berhasil) untuk menghormati prinsip-prinsip etik, dan mulai melihatnya sejalan dengan fungsi historisnya di dalam negara-bangsa yang modern. "Dengan kata lain, ia ingin mengajak kita melihat hak-hak asasi manusia tidak sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan universal, dalam arti berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun, melainkan sebagai sesuatu yang terlibat dalam gerak realitas dunia yang penuh dengan intrik politik dan pertarungan kekuasaan.
Lebih dari itu, di dalam deklarasi-deklarasi yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, Agamben, sejalan dengan pemikiranya hanna Arendt, bahwa ada ambiguitas tentang kata manusia, terutama dalam deklarasi hak-hak asasi manusia yang dikumandangkan dalam revolusi Prancis 1789. Di dalam deklarasi tersebut, kata manusia seringkali diartikan sebagai warga negara. Hak-hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak warga negara Prancis. Dengan begitu, yang sungguh dijamin hak-hak asasinya adalah orang Prancis. Sementara orang-orang di luar negara Prancis, seperti yang berasal dari Afrika dan Asia, tidak mendapatkan perlindungan serupa.
Bahkan, pada level yang lebih ekstrem, orang-orang yang berasal dari luar Prancis tidak dianggap sebagai manusia, tetapi hanya sebagai mahluk yang lebih rendah, maka bisa dibenarkan untuk dijajah, ataupun dieksploitasi atau mengalami bare life (kondisi telanjang).
Giorgio Agamben, filsuf Italia kontemporer awal abad 21, mengurai pemikiranya tentang biopolitik. Pemikiran ini merupakan tanggapannya terhadap filsafat politik Hannah Arendt tentang apa keterkaitan antara hak-hak asasi manusia dan situasi politik para pengungsi. Bagi Arendt, sebagaimana dicatat oleh Agamben, ada kaitan yang amat erat antara keberadaan negara-bangsa di satu sisi, dan hak-hak asasi manusia di sisi lain. Hubungan ini bersifat paradoks.
Di satu sisi, hak-hak asasi manusia dilindung oleh negara. Namun supaya hak-hak asasi seseorang bisa dilindungi, maka ia harus menjadi warga negara tertentu yang nantinya akan melindungi hak-hak asasinya. Situasi menjadi membingungkan, ketika seorang pengungsi yang baru melarikan diri dari negara tempat tinggalnya, dan pergi ke suatu negara yang bukan merupakan negaranya. Pertanyaannya, siapa yang akan menjamin dan melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia?
"Di dalam sistem negara bangsa", demikian pemikiran Agamben bahwa, "hak-hak yang dianggapi suci dan tak dapat diambil dari manusia menunjukkan dirinya mengalami kekurangan perlindungan." Artinya, cukup jelas bahwa hak-hak asasi manusia baru menjadi nyata ketika seseorang menjadi warga negara. Jika seseorang karena sesuatu dan lain hal kehilangan kewarganegaraannya, maka otomatis ia akan kehilangan jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H