Mohon tunggu...
Fajrin Haerudin
Fajrin Haerudin Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Kopi

Kopi Biar Sehat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

The State Is A Killer of Humanity, Portrait of Afganistan Refugees

18 Agustus 2021   15:01 Diperbarui: 18 Agustus 2021   15:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan kemudian yang amat perlu untuk dijawab adalah, siapa itu warga negara? Apa yang dibutuhkan, supaya orang berhak menyandang status sebagai warga negara dari suatu komunitas politis tertentu? Untuk menjawab pertanyaan ini, Agamben terlebih dahulu membedakan antara hak-hak pasif dan hak-hak aktif. Secara padat, hak-hak pasif adalah hak-hak orang yang diperolehnya, hanya semata-mata karena ia adalah manusia.

Dengan adanya hak-hak ini, keberadaan suatu masyarakat bisa dipertahankan, walaupun dalam bentuknya yang paling primitif. Sementara, hak-hak aktif adalah hak-hak orang untuk terlibat secara penuh dalam menentukan berbagai keputusan yang mempengaruhi kehidupan bersama. Setiap orang memiliki hak-hak pasif. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa memperoleh hak-hak aktif, dan menjalankannya dalam aktivitas hidupnya. Orang-orang, yang dianggap tak mampu untuk terlibat dalam kehidupan bersama, tidak mendapatkan hak-hak aktif, dan harus puas dengan hanya memiliki hak-hak pasif dalam hidupnya.

Di dalam negara-negara modern, pada satu sisi manusia harus selalu dipandang dalam tegangan antara mahluk alamiah yang telanjang tanpa atribut apapun atau disebut (bare life), dan disisi lain dipandang sebagai mahluk legal politis (political creature). Dengan kata lain, pengandaian antropologis dari negara-negara modern bukan manusia yang rasional dan bebas, seperti yang banyak dipikirkan oleh para filsuf modern, melainkan manusia yang telanjang, tanpa status dan atribut apapun, yang kemudian mendapatkan statusnya sebagai subyek hukum, dan memperoleh jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia. "Hak-hak", demikian tulis Agamben, "dapat ditempelkan pada manusia, atau muncul dari dalam dirinya, hanya sejauh manusia itu hilang dan kemudian menjadi warga negara."

Deklarasi hak-hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, dengan demikian dapat dipandang sebagai perkawinan antara otoritas metafisis tentang manusia di satu sisi dan kekuasaan politis institusi-institusi dunia di sisi lain. Keduanya dibutuhkan supaya hak-hak asasi manusia bisa dijamin. Di dalam rezim totaliter, walaupun ada pemahaman metafisis tentang manusia, hak-hak asasi manusia menjadi terabaikan. Begitu pula sebaliknya, di dalam tata politik modern, namun tidak memiliki pemahaman metafisis tentang manusia yang cukup sejalan dengan hak-hak asasi manusia, hak-hak asasi itu pun juga menjadi sulit diterapkan. Menurut Agamben, dibutuhkan "perkawinan" pemahaman dari manusia sebagai mahluk alamiah yang sudah selalu menggendong hak-hak asasi (prinsip nativitas) menjadi warga negara yang memiliki hak sekaligus kewajiban legal tertentu (prinsip politik). Inilah yang menurutnya disebut sebagai prinsip biopolitik.

Menyimak fenomena ini, Agamben mengajak kita untuk mengubah kerangka berpikir kita dalam memahami konsep hak-hak asasi manusia. "Sekarang adalah saatnya kita untuk berhenti memandang berbagai deklarasi-deklarasi tentang hak sebagai pernyataan atas yang abadi, meta tata hukum yang memiliki nilai yang mengikat para pembuat hukum (dan tidak berhasil) untuk menghormati prinsip-prinsip etik, dan mulai melihatnya sejalan dengan fungsi historisnya di dalam negara-bangsa yang modern. "Dengan kata lain, ia ingin mengajak kita melihat hak-hak asasi manusia tidak sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan universal, dalam arti berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun, melainkan sebagai sesuatu yang terlibat dalam gerak realitas dunia yang penuh dengan intrik politik dan pertarungan kekuasaan.

Lebih dari itu, di dalam deklarasi-deklarasi yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, Agamben, sejalan dengan pemikiranya hanna Arendt, bahwa ada ambiguitas tentang kata manusia, terutama dalam deklarasi hak-hak asasi manusia yang dikumandangkan dalam revolusi Prancis 1789. Di dalam deklarasi tersebut, kata manusia seringkali diartikan sebagai warga negara. Hak-hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak warga negara Prancis. Dengan begitu, yang sungguh dijamin hak-hak asasinya adalah orang Prancis. Sementara orang-orang di luar negara Prancis, seperti yang berasal dari Afrika dan Asia, tidak mendapatkan perlindungan serupa.
Bahkan, pada level yang lebih ekstrem, orang-orang yang berasal dari luar Prancis tidak dianggap sebagai manusia, tetapi hanya sebagai mahluk yang lebih rendah, maka bisa dibenarkan untuk dijajah, ataupun dieksploitasi atau mengalami bare life (kondisi telanjang).

Giorgio Agamben, filsuf Italia kontemporer awal abad 21, mengurai pemikiranya tentang biopolitik. Pemikiran ini merupakan tanggapannya terhadap filsafat politik Hannah Arendt tentang apa keterkaitan antara hak-hak asasi manusia dan situasi politik para pengungsi. Bagi Arendt, sebagaimana dicatat oleh Agamben, ada kaitan yang amat erat antara keberadaan negara-bangsa di satu sisi, dan hak-hak asasi manusia di sisi lain. Hubungan ini bersifat paradoks.

Di satu sisi, hak-hak asasi manusia dilindung oleh negara. Namun supaya hak-hak asasi seseorang bisa dilindungi, maka ia harus menjadi warga negara tertentu yang nantinya akan melindungi hak-hak asasinya. Situasi menjadi membingungkan, ketika seorang pengungsi yang baru melarikan diri dari negara tempat tinggalnya, dan pergi ke suatu negara yang bukan merupakan negaranya. Pertanyaannya, siapa yang akan menjamin dan melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia?

"Di dalam sistem negara bangsa", demikian pemikiran Agamben bahwa, "hak-hak yang dianggapi suci dan tak dapat diambil dari manusia menunjukkan dirinya mengalami kekurangan perlindungan." Artinya, cukup jelas bahwa hak-hak asasi manusia baru menjadi nyata ketika seseorang menjadi warga negara. Jika seseorang karena sesuatu dan lain hal kehilangan kewarganegaraannya, maka otomatis ia akan kehilangan jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun