Mohon tunggu...
Fajrin Haerudin
Fajrin Haerudin Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Kopi

Kopi Biar Sehat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Liga Korupsi Indonesia

9 April 2021   03:09 Diperbarui: 9 April 2021   03:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tarik nafas dan telan ludahmu para anak negara, seruput kopimu selagi bisa dan kita mulai jeritan derita.

Jiwasraya 13,7 triliun...
Asabri 10 triliun...
Bank Century 8 triliun...
Pelindo (II) 6 triliun...
Bupati KALTIM 5,8 triliun...
BLBI 4,5 triliun...
E-KTP 2,3 triliun...

Ini baru klasemen sementara yang mengarungi misteri negara. Kritikan sekejap lenyap oleh buzeRP kekuasaan, jangan memaksa untuk menyangkal atau kau akan dibantai alat negara, Katanya Pancasilais tapi terpampang militeristis ala komunis.

Jama'ah tabligh dan teroris hanya bahan candaan pemerintah, menjadi brand baru pengalihan isu negara. Secuil istilah kemanusiaan nyaris tak bernafas pada rongga-rongga moral kebijakan, tragisnya enam nyawa dibantai sia-sia seperti warga negara dilubang-lubang darah sejarah. Ideologi negara bukan lagi Pancasila, sebab kebohongan sudah mutlak dikiblati para ideologiman.

Aparat harusnya menggotong, merangkul, dan membawa pelaku atas kejahatan apapun ke pengadilan, tapi ganasnya intaian menyisahkan ceceran darah pembantaian para syuhada. Fakta tanpa perintah diakui pelaku yang padahal intai itu tugas, inilah Negeri dengan seribu dongeng keadilan, dan inilah Negeri dimana kenyataan lebih kuasa dari pernyataan. Sedang para elit Aparat sibuk menggila bersama si kuasa. Berdongenglah sendiri atas keadilan sembari berandai agar para jahanam mendekam di panasnya neraka.

Viral disetiap sudut beranda media, Stafsus presiden 'Belva Devara' mengundurkan diri setelah mendapat proyek ruang guru yang melimpah, rakyat menjerit dibalik dinamika mitra kartu prakerja dengan nilai proyek 5,6 triliun itu biasa. Demokrasi sebagai kekuatan rakyat terkalahkan cerdiknya praktik oligarki yang dipelopori oleh kepala negara.

Kebiadaban atas kuasa dipertontonkan, moral rakyat dibungkam dengan secarik kertas bualan. Lembaga peradilan didirikan untuk mengisi kegilaan, utopis katanya padahal ulititarian, benar dan tidaknya entahlah. Resisten dikambinghitamkan, sedang kebiadaban dipertontonkan.

Dana BANSOS yang sedang mencari posisi keadilan telah membusuk di kerandang mayat kekuasaan. Dalihnya, kabinet diganti untuk menutupi korupsi yang melimpah, tapi tarian erotis si Risma dengan cipta tragedi dramatisnya bersama pemulung dahulu tertancap pisau kritis para pemerhati bangsa. Meme tetek bengek si nenek berkeliaran, sungguh hiburan ditengah merajalelanya bencana kelaparan.

Benar ucap bang Syarif Ahmad, politisi tidak pernah hirau akan kualitas, integritas dan tas-tas lainnya kecuali isi tas.

Kota Bima, 20 Januari 2021
Fajrin Haerudin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun