Mohon tunggu...
Fajrin Rumalutur
Fajrin Rumalutur Mohon Tunggu... profesional -

Peminat masalah-masalah Sosial, Politik, ekonomi, sejarah dan Musik. menyukai film-filim Action dan China. "Ilmu,imamu amal"

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Membaca Putusan MK tentang UU pemilu”

3 September 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:57 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohon 22 partai politik (Parpol) terkait judicial review atau uji materi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 atau UU Pemilu. Dalam putusan Nomor 52/PUU-X/2012, pasal 8 ayat 1 dan 2, pasal 17 ayat 1, pasal 208, serta pasal 209 ayat 1 dan 2 UU Pemilu, semuanya dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat. Dalam sidang uji materil UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ambang batas/Parliamentary Treshold (PT) hanya berlaku pada tingkat pusat (DPR) hal ini otomatis mebatalkan isi dari UU yang di rumuskan DPR dan pemerintah sebelumnya. Selain itu MK juga memutuskan untuk melakukan Verifikasi Partai Politik peserta pemilu Secara keseluruhan baik yang sudah memiliki kursi saat ini maupun yang belum memiliki kursi.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa parliamentary threshold (PT) sebesar 3,5 persen yang berlaku secara nasional dapat merampok kedaulatan rakyat di daerah dan bertentangan dengan konstitusi. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Perwakilan Daerah terhadap UUD 1945.

Urgensi Putusan MK

putusan MK ini sekaligus mengkonfirmasi kegelisahan banyak pihak yang menganggap bahwa terdapat kelemahan konstitusional dari UU yang menjadi aturan main (rule of the game) dalam pemilihan umum ini. pasalnya UU no. 8 tahun 2012 di duga syarat akan akomodasi kepentingan partai-partai politik besar yang menguasai mayoritas kursi di DPR dan mengabaikan asas demokratis.

Secara teoritis, untuk mewujudkan system pemerintahan yang efektif dan stabil maka di perlukan iklim politik yang kondusif. Kepolitikan yang kompleks dan tidak teratur akan berdampak bagi tidak terselenggaranya pemerintahan yang bekerja powerfull bagi kepentingan masyarakat. Untuk kepentingan inilah maka semangat penyederhanaan partai politik di kedepankan. namun faktanya terdapat semangat kanibalisasi partai politik besar terhadap partai politik kecil dalam prosesnya hingga UU ini di sahkan, salah satunya adalah mendorong ambang batas/ Parliementary Treshold (PT) dalam derajat numerikal yang setinggi-tingginya dan di berlakuakan surut pada seluruh tingkatan.

Dalam UU pemilu ini mengisryaratkan Ambang batas 3,5 persen berlaku menyeluruh dari pemilihan DPR, DPD, DPRD (provinsi, kabupaten dan kota), hal ini tentunya akan melahirkan beberapa masalah yang akan terjadi, pertama, jika sekiranya PT 3,5 persen di belakukan surut samapai pada tingkat lokal maka kemungkinan sulit bagi partai politik di daerah untuk memenuhi ketentuan ini, dan mungkin tidak ada satu kader partai pun yang mampu duduk di kursi parlemen sebab, energi dan daya mobilisasi politik partai di tingkat lokal tidak terlalu besar. Hal ini bisa di lihat pada komposisi perolehan suara partai di tingkat lokal pada pemilu tahun 2009 lalu. Kedua, logika pemberlakuan PT secara nasional ini akan menyebabkan disproporsionalitas dalam pemilu.  Sebab, jikalau partai memperoleh dukungan di daerah namun pada tingkat nasional tidak memenuhi kecukupan suara dengan standarisasi ambang batas 3,5 persen dari total suara secara nasional maka otomatis kursi di daerah hilang (wasted). Ketiga, PT 3,5 persen akan menyebabkan jumlah kursi di DPRD Kabupaten/Kota tidak akan terbagi habis apalagi jika jumlah partainya banyak dan kemampuan perolehan rata-rata suara dalam pemilu sama. Kalaupun terdapat beberapa partai yang perolehan suaranya melebihi ambang batas yang di tentukan tetap saja akan menyisahkan jumlah kursi yang tidak terisi, hal ini bertentangan dengan asas demokrasi perwakilan yang menghendaki terlembaganya partisipasi dan aspirasi bagi setiap anggota masyarakat.

Selain persoalan ambang batas/parliamentary Treshold (PT) di atas, MK juga memutuskan bagi setiap partai politik tanpa terkecuali baik yang sudah memiliki keterwakilan kursi di parleman (hasil pemilu 2009) maupun yang belum untuk mengikuti verifikasi faktual. ini di karenakan banyaknya perubahan pada UU sebelumnya seperti adanya penambahan kepengurusan pada besaran wilayah dll. Verifikasi ini bermakna positif sebab akan menciptakan rasa keadilan bagi seluruh partai yang menjadi kontestan pemilu mendatang tanpa ada pengecualian. Selain itu kepentingan verifikasi partai politik bertujuan untuk menginventarisasi kesiapan serta kelengkapan syarat administratif partai-partai politik sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku. syarat verifikasi partai politik sesuai UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR DPD dan DPRD menyebutkan, kepengurusan partai harus ada di 100 persen provinsi, 75 persen di kabupaten kota, 50 persen di kecamatan. Hal ini penting untuk meminimalisir partai yang cuman bermodalkan papan nama dan baliho namun kantor, akte dan pengurusnya tak ada alias bodong.

Verifikasi sesungguhnya berdampak positif bagi partai politik. partai akan terdorong  melakukan konsolidasi internal sejak awal serta lebih mempersiapkan diri untuk memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan sesuai dengan ketentuan undang-undang dalam menghadapi pemilu nantinya. evaluasi kekuatan jaringan struktur partai dan kinerja partai hingga ke tingkat bawah melalui pendataan pengurus dan perumusan program-program strategis partaipun sudah di persiapkan jauh hari sebelumnya.

Putusan mahkamah konstitusi telah mendudukan Undang-Undang pemilu sebagai rujukan konstitusional hajatan demokrasi lima Tahunan ini berada pada posisi yang relatif baik, terlepas dari beberapa persoalanya yang sebenarnya belum terakomodir dalam putusan tersebut. kiranya hasil keputusan MK ini bisa menghadirkan pemilu yang berkualitas, adil, serta berjalan secara damain dan bermartabat.**

Fajrin Rumalutur,

Mahasiswa tingkat akhir pada program pascasarjana ilmu politik Universitas Indonesia,

Direktur Executive (FITDEP), Forum Indonesia Timur Untuk Demokratisasi Dan Pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun