Dalam praktiknya, terdapat persoalan bagi jalanya penerapan sistem pemerintahan presidensil. Sebab, Negara kita mengatut sistem kepartaian multi partai (multy party system) dengan jumlah yang banyak. Dalam istilah giovani sartori di sebut multi partai ekstrim. Secara teoritik sistem presidensil (presidential system) tidak kompatibel di kombinasikan dengan sistem multi partai (multy party system). Mengapa? Karna dalam sistem multi partai dengan jumlah yang banyak sulit melahirkan partai mayoritas yang memenangkan pemilu dengan perolehan suara maksimal di parlemen (50% + 1). Dalam kondisi seperti ini koalisi menjadi tidak terhindarkan. presiden sulit membentuk pemerintahan sendiri karna tidak memenuhi dukungan penuh di parlemen.
Jika presiden hanya di usung oleh partai kecil yang memiliki suara terbatas di parlemen, maka melahirkan kondisi presiden minoritas (minority president), konsekuensinya presiden akan berhadap-hadapan dengan konfigurasi politik parlemen dan di bayang-bayang ancaman pemakzulan (impeachmen). Presiden juga sulit meloloskan seluruh program-program pemerintahan atau RUU untuk disetujui dan diputuskan bersama-sama dengan DPR. Jika tidak terdapat titik temu kompromi presiden dan DPR maka terjadi kebuntuan (deadlock). Pada posisi seperti ini kedudukan parlemen sangat dominan (legislative heavy) terhadap presiden. Kompromi untuk memuluskan jalanya pemerintahan biasanya di lakukan melalui koalisi beberapa partai politik hingga mencukupi dukungan minimal di parlemen. Kompromi presiden dengan partai politik yang memiliki wakil di parlemen terlihat dari susunan kabinet. kabinet yang terbentuk adalah kabinet pelangi hasil konsensus presiden dan partai politik bukan kabinet profesional (zaken cabinet) yang di susun berdasarkan hak preogratif presiden.
Untuk mewujudkan pemerintahan presidensil yang efektif dan stabil, penataan institusi politik harus segera di lakukan. Memperkuat kedudukan presiden dengan cara memberikan hak veto pada presiden. Hak veto adalah hak presiden di bidang legislatif yang di pergunakan untuk mengesahkan dan menolak rancangan undang-undang yang di berikan parlemen kepada presiden. Sebagai contoh, amerika serikat yang megadopsisi sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki hak veto yang di pergunakan untuk menolak hasil rancangan undang-undang yang telah di putuskan oleh parlemen (senat dan house of representative). Namun parlemen bisa menganulir (override) veto presiden dengan dukungan mayoritas (dua per tiga) suara di kongres. Sistem presidensil di amerika berjalan efektif dan stabil.
Untuk itu dalam amandemen konstitusi ke lima ini, point yang paling penting adalah dengan Memperkuat sistem presidensil melalui pemberian hak veto serta tidak melibatkan presiden (eksekutif) dalam merancang UU. sebab tugas sesungguhnya dari lembaga eksekutif adalah melaksanakan UU. Kewenangan merancang undang-undang sepenuhnya di serahkan ke parlemen (DPR dan DPD). Pemberian hak veto kepada presiden adalah keniscayaan dari pilihan pengunanan system presidensil. Agar mendorong terwujudnya mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan Negara, memperkuat posisi presiden, dan membuat parlemen lebih serius dalam menjaga kualitas produk legislasi.
Amandemen konstitusi kelima di harapkan mampu melahirkan suatu formulasi kehidupan ketatanegaran yang lebih baik, yang mampu menjawab tantangan kehidupan berbangsan dan bernegara di masa kini dan akan datang tanpa melupakan sejarah dan situasi kebatinan para pendiri bangsa kita, untuk indonesia yang maju dan sejahtera. Semoga!
Fajrin Rumalutur,
Mahasiswa tingkat akhir pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Direktur Executive (FITDEP) Forum Indonesia Timur Untuk Demokratisasi Dan Pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H